Senin, 14 Mei 2012

Tanya & Jawab : Talak dan Rujuk

Talak dan Rujuk (Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII) PERTANYAAN : 1.Istri yang ditalak satu atau dua dan setelah itu rujuk, bagaimanakah tata cara rujuk yang syar’i? 2.Apabila masa ‘iddah belum habis, apakah harus membuat akad nikah baru? 3.Apabila masa ‘iddah telah habis, bagaimanakah cara rujuk yang sesuai syar’i? Jazakallahu khairan. JAWABAN : Agama Islam sangat menjaga keutuhan biduk rumah tangga kaum muslimin. Hal ini bisa dilihat dalam pengaturan tentang perceraian (talak), bahwasanya Islam tidak menjadikan talak hanya sekali, namun sampai tiga kali. Disebutkan dalam firman Allâh Ta'ala : Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Qs. al-Baqarah/2:229) Juga adanya pensyariatan‘iddah. Yaitu masa menunggu bagi yang ditalak, seperti tersebut dalam firman-Nya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. (Qs. ath-Thalâq/65:1) Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan istrinya satu kali, ia masih memungkinkan untuk memperbaiki kembali bila dirasa hal itu perlu dan baik bagi keduanya. Semua ini menunjukkan perhatian Islam yang sangat besar dalam pembangunan rumah tangga yang kokoh dan awet. Adapun syarat sahnya rujuk, di antaranya: 1.Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim. 2.Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama. 3.Rujuk dilakukan selama masa ‘iddah. Apabila telah lewat masa ‘iddah -menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk. Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam masa ‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib diadakan nikah baru. Allâh Ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allâh dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. al-Baqarah/2 ayat 228) Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan: “Para ulama telah bersepakat, bahwa bila orang yang merdeka menceraikan wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik dengan talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya, walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa iddahnya, maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali dengan nikah baru”. [1] Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan ucapan “saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti ucapan“sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah. Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih bersilang pendapat, namun yang rajih (kuat) -insya Allâh- yaitu dengan melakukan hubungan suami istri atau muqaddimahnya, seperti ciuman dan sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk. Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dan dirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh.[2] Apabila disertai dengan saksi, maka itu lebih baik, apalagi jika perceraiannya dilakukan di hadapan orang lain, atau sudah diketahui khalayak ramai. Wallahu a’lam.

Rabu, 11 April 2012

HAK ISTERI ATAS SUAMI

Syari’at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing, atau
seperti yang dikatakan oleh Al Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut)

Namun, Syari’at tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”

Bahkan Al Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum: 21)

Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan
bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam hal ini banyak suami yang keliru – padahal diri mereka sebenarnya baik – ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang
lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab pergaulan diantara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Diantara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.

Allah berfirman:
“… Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma’ruf (patut) …, An Nisa’: 19)

“… Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An Nisa’: 21 )

“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ….” (An Nisa: 36)

Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas ialah isteri.

Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlak baik kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah,
sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.” Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?” Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan bila engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’ Aisyah menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”

Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan hati wanita.
Rasulullah saw. biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar r.a. – yang dikenal berwatak keras itu – pernah berkata, “Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki.”

Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci
alja’zhari al-jawwazh,” dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah orang yang bersikap keras terhadap isteri
(keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini
merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada
yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang
kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah
saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan
banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah
dan menegakkan agama, memelihara jama’ah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau
tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau
adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an,
dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan
hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau penuhi.
Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau
terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan
memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang
tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:

“Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah
bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain.
Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil
bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi
(bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau
juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.”

Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau
membaca Al Qur’an sedang kepala beliau berada di
pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau
memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.

Diantara kelemahlembutan dan akhlak baik beliau lagi
ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi
ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah)
menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat
permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari
rumah bersama-sama.

Sabda Nabi saw:

“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”

Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi
senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya
dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata,
“Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami
terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran.
Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran
beliau, lalu beliau bermalam di situ.”1

Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini
mengenai petunjuk Nabi saw. tentang pergaulan beliau
dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau
sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan
Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti
beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang
belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau.
Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
kebutuhan disini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan
hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada
semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan
senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah
melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar,
seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan
menegakkan daulah.

“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
bagus bagi kamu.”

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Istri adalah Penyempurna Suami

Dalam kehidupan berkeluarga, interaksi antara suami dan istri sangat menentukan suasana rumah tangga. kasih sayang (mawaddah dan rahmah) adalah suasana yang di impikan oleh setiap keluarga. akan tetapi masalah yang muncul dalam keluarga antara suami dan istri sering mengancam hubungan tersebut dan dapat merubah suasana rumah tangga.

Selain setiap suami dan istri harus mengetahui posisi dan tugasnya masing-masing, suami sebagai kepala rumah tangga harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam keluarga. jika masalah yang di sebabkan oleh suami maka dia lah yang salah, dan jika masalah itu di sebabkan oleh istri, maka suami juga yang salah.

Karena suami adalah pemimpin keluarga, penanggung jawab keluarga, bertanggung jawab atas semua kebutuhan keluarga termasuk kebutuhan istri dan anak-anaknya. menafkahi baik lahir maupun batin, juga bertanggung jawab atas pendidikan istri. dan istri juga tidak boleh merasa sudah cukup tahu akan tugasnya dan tidak ingin di atur.

Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- mewasiatkan kepada para suami dalam mendidik istri harus selalu di hadapi dengan kesabaran, dan mendidik mereka dengan cara yang baik. karena wanita di ciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah pada ujungnya. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :


وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Artinya : "Dan berwasiatlah kepada para wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka di ciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang bengkok dari tulang rusuk adalah atasnya, jika engkau memaksa meluruskannya maka dia akan patah, dan jika engkau biarkan maka dia akan tetap bengkok. maka berwasiatlah kepada para wanita dengan baik." (HR Bukhori dan Muslim)

Dengan ini, maka istri adalah penyempurna bagi suami. istri bagaikan bagian tubuh yang dahulu hilang dan kini telah di temukan kembali. bagian hidup dan dahulu kurang dan kini telah lengkap kembali. menjaga istri dengan mendidiknya dengan cara yang baik, dengan begitu hidup kita akan terjaga.

Read more: http://www.artikelislami.com/2011/01/istri-adalah-penyempurna-suami.html#ixzz1rikuuYXt

Wasiat Rasulullah Kepada Para Suami

Wasiat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Para Suami Untuk Memperhatikan Para Wanita

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُُه كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ

“Berwasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita” (HR Al-Bukhari III/1212 no 3153 dan V/1987 no 4890 dari hadits Abu Hurairah)

Makna dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam “Berwasiatlah untuk para wanita” ada beberapa makna, diantaranya:


(i) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian saling berwasiat untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak para wanita”

(ii) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari diri kalian sendiri atau dari orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”. Sebagaimana seseorang yang ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka disunnahkan baginya untuk berwasiat, dan berwasiat kepada wanita perkaranya lebih ditekankan lagi mengingat kondisi mereka yang lemah dan membutuhkan orang lain yang mengerjakan urusan mereka

(iii) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam) tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada mereka dan gaulilah mereka dengan baik”. (Pendapat yang terakhir inilah yang menurut Ibnu Hajar lebih tepat (Al-Fath VI/368))

Inti dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita.



Wanita adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya…membutuhkan perhatian khusus….. oleh karena itu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam membuka wasiatnya dengan sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) dan menutup wasiatnya dengan mengulangi sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) untuk menegaskan hal ini.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –tatkala haji wada’-

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

“Hendaknya kalian berwasiat yang baik untuk para wanita karena mereka sesungguhnya hanyalah tawanan yang tertawan oleh kalian” (HR At-Thirmidzi no 1163, Ibnu Majah no 1851 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Berkata Asy-Syaukani, “Maksudnya bahwasanya hukum para wanita seperti hukum para tawanan…dan seorang tawanan tidak bisa membebaskan dirinya tanpa idzin dari yang menawannya, demikianlah (kondisi) para wanita. Hal ini didukung dengan hadits إِنَّمَا الطَّلاَقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ ((Sesungguhnya perceraian berada di tangan yang memegang betis)).[ HR Ibnu Majah no 2081 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat Al-Irwa’ no 2041). Maksud dari (memegang betis) adalah kinayah dari jimak. Artinya perceraian itu berada di tangan suami (Syarh Sunan Ibni Majah karya As-Suyuthi I/151)]

Maka wanita tidak memiliki kekuasaan untuk membebaskan dirinya dari suaminya kecuali ada dalil yang menunjukan akan bolehnya hal itu misalnya karena kondisi suami yang tidak mampu memberi nafkah atau adanya aib pada suami yang membolehkan untuk pembatalan akad nikah dan demikian juga jika sang wanita benar-benar sangat membenci sang suami…( Asy-Syaukani menyebutkan adanya khilaf dalam poin yang terakhir ini)” (Nailul Author VII/135)



Terkadang seorang wanita dizholimi oleh suaminya…hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya…omelan-omelan menjadi santapannya sehari-hari, tamparan demi tamparan ia rasakan…namun ia tak kuasa untuk memisahkan dirinya dari suaminya…

Apalagi jika sang wanita telah mencapai usia yang agak tua…jika ia meminta cerai maka siapakah yang akan menggantikan posisi suaminya kelak…, batinnya berkata “Apakah ada laki-laki yang mau menikah denganku yang sudah tua ini”??? Kesedihan dan ketakutan terus menyelimutinya….

Terkadang meskipun suaminya selalu mendzoliminya namun ia tak kuasa berpisah dari suaminya itu…cintanya terlalu dalam kepada suaminya…ia hanyalah tawanan suaminya yang diperlakukan seenak suaminya…hanya kepada Allah-lah ia mengadukan penderitaannya…!!!!!

Oleh karena itu hendaknya para suami bertakwa kepada Allah…takut kepada Allah tatkala menunaikan kewajibannya kepada para wanita… hendaknya tatkala mereka bermuamalah dengan istri-istri mereka mengingat wasiat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda –tatkala haji wada’ mengingatkan para sahabatnya-

فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah[1] Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah” (HR Muslim II/889 no 1218)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menganjurkan untuk memperhatikan hak-hak para wanita dan wasiat (untuk berbuat baik) kepada mereka serta untuk mempergauli mereka dengan baik. Telah datang hadits-hadits yang banyak yang shahih tentang wasiat tentang mereka dan penjelasan akan hak-hak mereka serta peringatan dari sikap kurang dalam hal-hal tersebut (menunaikan hak-hak mereka)” (Al-Minhaj VIII/183)

Sebagian ulama menyatakan bahwa meninggalkan hak-hak istri dosanya lebih besar daripada dosa karena meninggalkan penunaian hak-hak suami. Karena seorang suami jika istrinya tidak menunaikan hak-haknya maka ia bisa saja menceraikannya atau ia mampu untuk bersabar karena tubuhnya yang kuat dan pribadinya yang kuat. Berbeda dengan seorang wanita yang dizolimi oleh suaminya, hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis, hatinya lemah. Wanita yang keadaannya seperti ini merasa bahwa ia telah gagal dalam kehidupannya, ia hanya bisa mengeluhkan kesedihannya kepada Allah, terkadang ia tidak mampu untuk berdo’a kepada Allah untuk membalas kezoliman suaminya karena kecintaannya kepada suaminya. (Ceramah Syaikh Muhammad Mukhtaar Asy-Syinnqithi yang berjudul “Fiqhul Usroh”)

Bertakwalah wahai para suami..!!!, takutlah kepada Allah..!!!, tunaikanlah hak-hak istri-istri kalian…!!!

Beberapa Diantara Kesalahan Suami

(1) Lupa terhadap orang tua

Sebagian orang tatkala menikah maka iapun sibuk dan terlena dengan istrinya hingga melupakan kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah melahirkannya, yang telah mendidikanya hingga dewasa hingga akhirnya menikah…??, orang tuanya yang telah sibuk menyiapkan pernikahannya karena ingin melihat anaknya bahagia..??, kemudian setelah itu yang mereka dapatkan hanyalah anak mereka melupakan mereka, melalaikan mereka, bahkan terkadang sang anak lebih taat kepada istrinya dari pada kedua orang tuanya. Bahkan terkadang sang anak rela untuk meremehkan dan menghina kedua orang tuanya untuk menyenangkan istrinya..bahkan sampai-sampai ada yang mengusir kedua orang tuanya demi menyenangkan istrinya, bahkan orang yang telah terbalik fitrohnya terkadang sampai memukul orang tuanya. Ini jelas merupakan bentuk durhaka kepada orang tua, namun betapa banyak orang yang melakukannya tidak merasakannya.


Banyak orang tua yang memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak mau minta kepada anak mereka atau menampakan kebutuhannya kepadanya, akhirnya sang anak memang benar-benar lupa terhadap orang tuanya. Namun kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi sang anak, alasan seperti ini tidak bisa diterima karena merupakan kewajiban anak untuk memperhatikan kedua orang tuanya, memperhatikan kondisi mereka, bukan malah berpaling dan tidak ambil peduli terhadap mereka.

Sebagian orang tua berangan-angan -setelah anak mereka menikah- untuk tidak melihat sang anak sehingga tidak terganggu dengan mulut anaknya yang seakan-akan selalu merasa bahwa keberadaan orang tua hanyalah menjadi beban hidupnya.

Sebagian orang..kondisi ekonominya mencukupkan, bahkan ia menghambur-hamburkan uangnya demi menyenangkan istirinya atau menyenangkan anak-anaknya, namun tatkala orangtuanya membutuhkan bantuannya maka ia berusaha untuk mengeluarkan sesedikit-dikitnya. Jika sang ayah meminta uang darinya untuk memenuhi kebutuhannya maka dengan lantangnya sang anak langsung berkata, “Saya masih punya hutang banyak… saya beli mobil dengan kredit…, saya beli rumah dengan kredit…, saya harus menabung untuk kebutuhan anak-anak di masa depan..”, dan seterusnya. Namun anehnya jika tiba waktu liburan maka dengan mudahnya ia menghambur-hamburkan uang sebanyak-sebanyaknya untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya. Padahal orang tuanya tidak meminta banyak darinya… bahkan tidak sampai seperseluluh dari yang ia hambur-hamburkan untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya..???!!!

Bukankah Allah berfirman

يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)

Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)” [Tafsir As-Sa’di 1/96]

Apalagi jika kondisi ekonomi sang anak hanyalah pas-pasan maka semakin banyak celaan dan kalimat-kalimat yang pedis yang terlontar dari sang anak kepada kedua orang tua. Maka durhaka mana lagi yang lebih besar daripada ini.

(2) Sebagian orang yang telah lama menikah jika terjadi cekcok antara ia dan istrinya maka ia langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuanya

Hal ini jelas semakin menjadikan kedua orang tua terbebani dengan banyaknya permasalahan. Orang tua yang semestinya di masa tuanya diusahakan agar tenang sehingga bisa lebih banyak beribadah kepada Allah akhirnya menjadi pusing karena mendengar keluhan-keluhan anaknya. Dan kebanyakan orang tua perasa, jika anaknya tersakiti maka merekapun otomatis akan merasa tersakiti. Bahkan terkadang akhirnya hal ini menjadikan orang tua menjadi sakit karena memikirkan beban anaknya.

Sesungguhnya orang tua tatkala menikahkan anaknya yang ia tunggu adalah agar sang anak membahagiakannya dan menyenangkannya –bukan malah ia yang sibuk menyenangkan anaknya-, menunggu agar sang anak memperhatikannya dan merawatnya –bukan malah sebaliknya-…!!!.

Oleh karena jika seseorang menghadapi cekcok keluarga maka hendaknya ia berusaha mengatasinya sendiri, hendaknya ia bertanya kepada orang yang berilmu, dan tidak mengapa terkadang ia meminta pendapat kedua orang tuanya. Namun bukan setiap kali ada permasalahan langsung ia kabarkan kepada kedua orang tuanya.

Terutama seorang ibu, jika mendengar cekcok yang terjadi antara sang anak dengan suaminya, maka ia akan merasa sangat sedih..bahkan hal ini sangat mungkin menjadikan sang ibu benci kepada sang istri akhirnya menganjurkan sang anak untuk bercerai..!!!. Sesungguhnya ibulah yang biasanya merasa sangat kehilangan anaknya setelah anaknya menikah. Dan terkadang sang ibu cemburu dengan istri anaknya. Terkadang kecemburuan ini mengantarkan sang ibu untuk mengatakan yang tidak-tidak tentang sang istri. Apalagi jika sang ibu mendengar kejelekan-kejelekan istri anaknya…maka ia akan semakin semangat untuk memerintahkan anaknya untuk bercerai. Meskipun demikian namun sang anak harus tetap menyikapi sang ibu dengan baik. Oleh karena itu hal ini harus dipahami dengan baik oleh sang anak.

Terkadang orang tua memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangganya yang tidak sesuai dengan pandangan sang anak… maka apakah yang harus dilakukan???. Jika perintah orangtuanya bertentangan dengan syari’at maka hendaknya ia tidak mentaati orang tuanya, adapun jika tidak demikian maka hendaknya sang anak menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan. Jika kemaslahatannya banyak maka hendaknya ia mentaati orang tuanya, namun jika kemudhorotannya lebih banyak maka tidak mengapa ia menyelisihi orang tuanya namun dengan tetap beradab dan menghormati orang tuanya.

(3) Menerima perkataan orang lain tentang kejelekan istrinya tanpa mengecek kebenaranya terlebih dahulu

Sebagian suami hanya karena mendengar sebuah perkataan dari ibunya tentang kejelekan istrinya maka langsung menceraikan istrinya. Apakah ia tidak tahu bahwa seorang ibu bisa cemburu kepada istrinya…??, bukankah ada kemungkinan bahwa perkataan ibunya tersebut tidak benar, atau banyak yang ditambah-tambah??. Maka hendaknya sang suami tidak menceraikan istrinya dengan terburu-terburu seperti ini, namun hendaknya ia mengecek segala laporan yang masuk ke telinganya.

Sebagian orang dikabarkan oleh sebagian sahabatnya tentang kejelekan istrinya maka iapun langsung menceraikan istrinya, dengan alasan bahwa sahabatnya tersebut adalah orang yang jujur dan terpercaya…!!!. Kenapa ia tidak mengecek dahulu, darimanakah sahabatnya tersebut mendapat berita tentang istrinya…, apakah ia melihat langsung..??, ataukah kabar tersebut datang dari istri sahabatnya..???. Jika perkaranya demikian, bukankah diantara para wanita timbul hasad dan saling dengki..???, bukankah ada kemungkinan istri sahabatnya tersebut dengki kepada istrinya lantas menyampaikan perkara-perkara yang tidak benar tentang istrinya..???


(4) Meremehkan istri dan tidak memperhatikan perasaan istrinya

Sebagian suami merandahkan istrinya, menganggap istrinya telat mikir, merasa bahwasanya ia yang selalu benar dan istrinya yang selalu salah. Ia tidak memperhatikan perasaan istrinya jika berbicara dengannya karena meremehkannya… meremehkan pendapatnya… maka akhirnya ia sering menyakiti hati istrinya.

Yang lebih aneh sebagian suami merasa sikap seperti ini menunjukan kejantanannya karena bisa menundukan istrinya..karena bisa menakutkan istrinya..bahkan membanggkan hal ini di hadapan sahabat-sahabatnya.

Sebagian suami jika diajak bicara oleh istrinya maka ia bersikap cuek, sambil membaca koran, atau sambil menonton tayangan televisi, atau sibuk menjawab telepon atau menulis sms…ia sama sekali meremehkan istrinya. Jika istrinya mulai berbicara menyampaikan pendapatnya maka sang suami langsung memotong perkataannya.

Sebagian suami berkata bahwasanya wanita itu pendek akalnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ

“Kurang akal dan agamanya”.[1]

Memang benar bahwasanya wanita pada umumnya perasa dan lebih mendahulukan perasaannya dari pada akalnya. Namun hal ini bukan berarti kemudian merendahkan wanita dan menyepelekannya, apalagi sampai menghinakannya.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam juga meminta pendapat istrinya, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam meminta pendapat Ummu Salamah tatkala para sahabat enggan melaksanakan perintahnya sebagaimana kisah berikut.

Tatkala Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan para sahabatnya dicegah oleh orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah sehingga tidak bisa melaksanakan umroh kemudian Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan mereka yang isi perjanjian tersebut secara dzohirnya menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin hal ini membuat para sahabat marah. Karena mereka tidak bisa berumroh maka mereka harus bertahallul di Hudaibiyah, maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memerintah para sahabatnya untuk menyembelih sesembelihan mereka dan mencukur rambut mereka. Namun tidak seorangpun dari mereka yang berdiri melaksanakan perintah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, bahkan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam mengulang perintah tersebut tiga kali namun tidak seorangpun yang melaksanakannya karena saking marahnya para sahabat terhadap orang-orang musyrik. Lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menemui Ummu Salamah dan menyebutkan hal tersebut. Maka Ummu Salamah berkata, “Keluarlah engkau (dari tendamu) dan janganlah engkau berbicara dengan salah seorangpun dari mereka kemudian sembelihlah untamu dan panggillah tukang cukurmu untuk mencukur rambutmu”. Lalu keluarlah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan ia tidak berbicara dengan seorang sahabatpun kemudian ia memanggil tukang cukurnya dan mencukur rambutnya. Tatkala para sahabat melihat sikap Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tersebut maka merekapun segera berdiri dan memotong sembelihan-sembelihan mereka dan saling mencukur diantara mereka. [HR Al-Bukhari II/978 no 2581]

Lihatlah bagaimana cerdasnya Ummu Salamah dan idenya yang sangat baik…!!!

Dan para sahabat juga terbiasa memusyawarahkan urusan mereka dengan istri-istri mereka sebagaimana ditunjukan oleh kisah berikut.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pada suatu hari berkata kepada seorang sahabat dari kaum Anshor, “Wahai fulan nikahkanlah putrimu kepadaku!”. Maka sahabat tersebut berkata, “Tentu ya Rasulullah dan semoga Allah menyedapkan pandangan matamu”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Akan tetapi aku menginginkan putrimu bukan buat diriku”. Ia berkata, “Buat siapa ya Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Buat Julaibib”. Ia berkata, يَا رَسُوْلَ اللهِ حَتَّى أَسْتَأْمِرَ أُمَّهَا “Ya Rasulullah, (tunggu dulu) hingga aku bermusyawarah dengan ibunya”. Lalu iapun mendatangi istrinya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengkhitbah putrimu”, istrinya berkata, “Tentu, dan semoga Allah menyedapkan pandanganmu”. Ia berkata, “Akan tetapi bukan untuk dirinya”. Istrinya berkata, “Kalau begitu buat siapa?”. Ia berkata, “Buat Julaibib”. Istrinya berkata, حَلَقِيُ أَلِجُلَيْبِيْب؟ “Celaka putriku[2], buat si Julaibib??, tidak, aku tidak akan menikahkannya dengan si Julaibib!”. Tatkala ia berdiri hendak menemui Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (untuk memberi tahu hasil musyawarahnya dengan istrinya-pen) maka putrinya berkata dari balik kamarnya kepada ibunya, “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah !!, bawalah aku kepada Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sesungguhnya beliau shallallahu 'alihi wa sallam tidak akan menyia-nyiakan aku!!”. Maka sahabat Anshor tersebut membawa putrinya kepada Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan berkata, “Aku serahkan urusannya kepadamu”. Maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pun menikahkannya dengan Julaibib. [HR Ahmad IV/422 no 19799, IV/425 no 19823 Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/343)]

Dan barang siapa yang melihat kenyataan maka ia akan dapati memang ada sebagian wanita yang lebih baik pendapatnya dari pada pendapat sebagian lelaki, lebih cerdas, dan lebih taat beragama, dan lebih mampu untuk mengatur keuangan rumah tangga.

(5) Selalu berburuk sangka kepada istri

Sebagian suami selalu berburuk sangka dan meragukan istrinya baik karena sebab maupun tanpa ada sebab. Terkadang ia ragu dengan amanah istrinya, menuduh istrinya mencuri, menggelapkan uangnya tanpa idzinnya…berburuk sangka akan agama istrinya… jika istrinya memandang ke luar maka ia menuduh istrinya memandang para lelaki tanpa ada sebab dan indikasi.

Memang dibolehkan bagi seorang suami untuk mengecek dan mencurigai istrinya jika memang ada tanda-tanda dan indikasi yang menunjukan demikian..atau ia memang mengetahui sifat-sifat istrinya yang menunjukan demikian. Namun jika tidak ada indikasi yang mengharuskan untuk berburuk sangka maka tidak boleh bagi seorang suami untuk berburuk sangka kepada istrinya.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya agar wanita yang di tinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” [HR Muslim III/1527 no 715]

عَنْ جَابِرُ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

Dari Jabir bin Abdillah berkata, “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya[3] atau untuk mencari-cari kesalahannya” [HR Muslim III/1528 no 715]

Hadits ini menunjukan bahwa berburuk sangka mencari-cari kesalahan istri adalah terlarang.

Berkata Ibnu Hajar, “Dan diambil hukum dari hadits ini adalah dibencinya seorang suami menemui istrinya dalam keadaaan sang istri tidak rapi agar sang suami tidak mendapati sesuatu pada istrinya yang bisa menjadi sebab ia menjauhi istrinya, atau ia akan mendapatinya dalam keadaan yang tidak diridhoi padahal syari’at menganjurkan untuk menutup aib. Dan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah mengisyaratkan hal itu dengan sabdanya, “untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau mencari-cari kesalahannya” [Fathul Bari IX/340]

(6) Tidak bisa memimpin keluarga

Sebagian suami lemah sehingga tunduk kepada istrinya, ia tidak bisa memimpin istrinya namun justru ialah yang dipimpin dan diatur oleh istrinya. Hal ini bertentangan dengan syari’at.

Allah berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. (QS. 4:34)

Hal inilah yang menjadikan sebagian istri besar kepala dan ingin menyamai para lelaki dalam segala hal sampai pada pekerjaan-pekerjaan di luar rumah sehingga timbulnya ikhtilath (bercampur baur antara para lelaki dan para wanita) yang akhirnya menjerumuskan pada timbulnya banyak penyakit sosial.


Jika seorang istri telah merasa seperti lelaki maka suaminya tidak mungkin bisa hidup bersamanya, bagaimana bisa seorang lelaki hidup berumah tetangga dengan sorang lelaki??!!. Kecantikan seorang wanita dihadapan seorang lelaki terdapat pada kelemahannya dan kebutuhannya kepada seorang lelaki. Tatkala seorang lelaki melihat istrinya lemah lembut dan butuh kepadanya maka akan timbul rasa kasih sayangnya dan akan nampak kejantanannya dihadapan sang wanita sehingga terjalinlah keselarasan diantara keduanya. Berbeda jika sang suami melihat istrinya adalah perkasa..??!!

Memang benar terkadang seorang istri pintar dan berkepribadian kuat, namun hal ini bukan berarti sang suami harus mengikuti semua perkataan istrinya, istrinyalah yang mengaturnya, memerintahnya dan melarangnya. Jika kondisi seorang suami seperti ini maka akan menyebabkan sang istri berani untuk keluar rumah tanpa izin suaminya. Sebagian suami tidak berani mengundang sahabatnya untuk minum teh di rumahnya kecuali setelah izin istrinya…???, apakah sampai demikian takutnya sang suami…???.

Sebagian suami terlalu cinta kepada istrinya hingga iapun tunduk pada istrinya meskipun istrinya tidak memiliki keistimewaan tertentu selain kecantikannya. Istrinya tidak pintar dan juga tidak berkepribadian kuat, bahkan sang suami mengetahui hal ini. Namun karena kecintaannya kepada sang istri yang terlalu besar akhirnya menggelapkan matanya dan pikirannya, akhirnya iapun tunduk dengan semua perkataan istrinya. Hal ini terkadang menjadikan dia tenggelam dengan dunia dan lupa untuk menuntut ilmu apalagi mendakwahkannya, dan banyak kebaikan-kebaikan agama yang harus dikorbankannya demi menyenangkan istrinya.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 64:14)

Ibnu Katsir berkata, “Allah mengabarkan tentang istri-istri dan anak-anak bahwasanya diantara mereka ada yang merupakan musuh bagi suami…oleh karena itu Allah berfirman {فَاحْذَرُوهُمْ} ((maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka)). Berkata Ibnu Zaid, يَعْنِي عَلَى دِيْنِكُمْ “Yaitu (wasapadahilah mereka) terhadap agama kalian”…Mujahid berkata, “Mereka (istri dan anak-anak) mendorong sang suami untuk memutuskan silaturahmi atau untuk bermaksiat kepada Allah maka sang suami tidak mampu kecuali mentaati mereka karena cintanya kepada mereka” [Tafsir Ibnu Katsir IV/377]

Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini merupakan peringatan dari Allah terhadap kaum mukiminin agar mereka jangan sampai terbuai dengan istri dan anak-anak mereka karena sebagian istri dan anak-anak mereka adalah musuh bagi mereka. Dan yang namanya musuh adalah yang menghendaki kejelekan pada dirimu, maka tugasmu adalah engkau berwaspada dari orang yang sifatnya demikian.

Jiwa memang terciptakan condong mencintai istri-istri dan anak-anak, maka Allah menasehati hamba-hambaNya jangan sampai kecintaan mereka terhadap istri dan anak-anak menjadikan mereka patuh dan taat dalam memenuhi keingingan-keingingan istri dan anak-anak yang mengandung perkara-perkara yang diharamkan, kemudian Allah memotivasi mereka untuk menjalankan perintah-perintahNya dan agar mereka mendahulukan mencari keridhoan Allah serta apa yang di sisi Allah berupa ganjaran yang besar yang mengandung keinginan-keinginan yang tinggi dan perkara-perkara yang sangat dan paling disukai. Allah juga menasehati mereka agar mereka mendahulukan akhirat daripada dunia yang fana dan akan berakhir.” [Taisir Ar-Karim Ar-Rahman hal 868]

Namun hendaknya seorang suami ingat bahwa istrinya bisa jadi musuh baginya bukan karena istrinya itu secara dzatnya yang asli merupakan musuh, akan tetapi istrinya menjadi musuh baginya karena sikap istrinya tersebut. Jika sang istri melakukan perbuatan yang bisa menghalangi sang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah maka jadilah ia musuh bagi suaminya, namun jika tidak maka bukanlah musuh suaminya. [Lihat penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya XVIII/141]. Oleh karena itu jika timbul dari istri sikap-sikap yang bisa menghalangi seorang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah, atau sikap-sikap yang bisa menyebabkan sang suami sibuk dengan dunia dan lalai dari akhirat, dan sang suami sadar akan hal itu, maka bukan berarti lantas sang suami kemudian menjadi kasar terhadap istrinya, atau “mencak-mencak” kepadanya dan menghinakannya, atau kemudian menjadikan istrinya sebagai musuhnya seterusnya lantas terus melampiaskan kemarahannya dan emosinya terhadap sang istri. Hendaknya sang suami memaafkan istrinya dan ingat akan wasiat-wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya agar berbuat baik kepada istrinya. Oleh karena itu Allah mengingatkan hal ini setelah menjelaskan bahwa sebagian istri merupakan musuh bagi suaminya. Allah berfirman

وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 64:14)

Syaikh As-Sa’di berkata, “Dan tatkala larangan mentaati istri dan anak-anak pada perkara-perkara yang mengandung kemudhorotan terhadap hamba serta peringatan akan hal itu bisa saja menimbulkan persangkaan untuk bersikap keras terhadap mereka serta menghukumi mereka, maka Allah memerintahkan untuk berwaspada terhadap mereka dan memafkan mereka serta tidak memarahi mereka karena hal ini mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan yang banyak sekali. Maka Allahpun berfirman وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ((dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)), karena balasan sesuai dengan amal perbuatan. Barangsiapa yang memaafkan maka Allah akan memaafkannya, barangsiapa yang mengampuni maka Allah akan mengampuninya, barangsiapa yang mencintai dan bermu’amalah dengan hamba-hambaNya dengan apa yang mereka sukai dan memberi manfaat kepada mereka maka ia akan medapatkan kecintaan Allah kepadanya dan kecintaan hamba-hamba Allah kepadanya” [Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal 868]

Allah telah menetapkan bahwa kepemimpin rumah tangga harus dipegang oleh kaum lelaki, dan rumah tangga tidak akan bisa berjalan dengan baik kecuali jika kepemimpinan dipegang oleh suami. Namun jika kepimimpinan dipegang oleh suami bukan berati sang suami menguasai istri dan bertindak kepadanya sewenang-wenang, bahkan syari’at memerintahkan para suami untuk memuliakan istri-istri mereka dan bersikap lembut kepada mereka.

Faedah :

Dalam ayat ini (QS 64:14) Allah menyebutkan bahwa hanya “sebagian” istri dan anak-anak yang merupakan musuh bagi sang suami, karena bukan semua istri dan anak-anak merupakan musuh. Adapun pada ayat setelahnya Allah tidak menyebutkan kata “sebagian”

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. 64:15)

Karena anak-anak, harta dan istri tidak akan lepas dari menimbulkan fitnah dan menyibukan hati. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah”, karena tidak seorangpun dari kalian kembali ke hartanya, istrinya, dan anaknya kecuali ia akan terkomintasi dengan fitnah. Akan tetapi hendaknya ia berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah-fitnah yang menyesatkan” [Lihat tafsir Al-Baghowi IV/354]

Karena bagaimanapun juga seorang suami pasti akan tersibukan dengan anaknya, hartanya, dan istrinya, dan ini merupakan fitnah baginya. Akan tetapi tidak semua fitnah menjadikannya tersesat, oleh karena itu ia hanya berlindung kepada Allah dari fitnah yang bisa menyesatkannya. Adapun ingin terbebas dari fitnah secara mutlak maka ini tidak mungkin, karena dunia adalah tempat fitnah dan ujian. Wallahu A’lam

(7) Sibuk dengan kegiatan luar hingga lupa untuk mendidik istrinya

Sebagian suami disibukan dengan kegiatan hingga lupa untuk mendidik istri mereka. Ada diantara mereka yang disibukan dengan urusan dunia seharian penuh dan tatkala tiba di rumah langsung tidur tanpa bermesraan dahulu dengan istrinya. Kalau ada diantara mereka yang ditegur maka ia akan berkata, “Aku telah membelikan istriku mobil, perabotan rumah tangga yang mewah…, rumah yang mewah…” dan seterusnya. Memang benar nafkah badan wajib bagi suami, namun nafkah batin juga wajib bagi suami. Jika ia tidak sempat untuk bermesraan dengan istrinya lantas bagaimana caranya ia mendidik istrinya dengan baik..???!!!.

Sebagian yang lain sibuk dengan perkara-perkara yang baik seperti menuntut ilmu dan dakwah, hal ini sangat baik, namun bukan berarti kemudian ia lalai dari istrinya. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam orang yang paling baik dalam berdakwah telah kita lihat bagaimana sikap beliau terhadap istri-istri beliau. Dan jangan sampai diantara kita ada yang merasa bahwa tanggung jawabnya yang berkaitan dengan dakwah lebih besar daripada tanggung jawab Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam!!!. Meskipun tanggung jawab Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sangatlah besar namun beliau tidak pernah melalaikan hak-hak istri-istri beliau, bukan hanya seorang istri bahkan sembilan orang istri. Lantas bagaimana dengan kebanyakan kita yang hanya memiliki seorang istri…???.


Sebagian suami begitu bersemangat mendakwahi orang lain, namun sangatlah malas untuk mendakwahi istrinya. Padahal istrinya adalah orang yang lebih berhak untuk memperoleh pendidikan darinya…!!!, bukankah istrinya yang akan mendidik anak-anaknya…???!!. Oleh karena itu sering kita mendapati seorang yang berilmu tinggi namun istri dan anak-anaknya tidak mencerminkan ajaran Islam dengan baik.

Demikian juga hendaknya seorang suami mendidik istrinya untuk beribadah kepada Allah. Dan apabila istrinya telah menjadi wanita yang shalihah dan taat beribadah kepada Allah bahkan membantunya untuk menjalankan ibadah kepada Allah maka sungguh merupakan kenikmatan yang luar biasa.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ

“Hendaknya yang kalian cari adalah hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, dan istri yang shalihah yang membantu kalian untuk meraih akhirat” [ HR At-Thirmidzi no 3094, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat juga shahihul jami’ no 5355. ]

Renungkanlah hadits berikut ini

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

Allah merahmati seorang yang bangun di malam hari lalu sholat (tahajjud) dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan untuk bangun maka iapun memercikkan air di wajah istrinya. Allah merahmati seorang wanita yang bangun di tengah malam lalu sholat (tahajjud) dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan untuk bangun maka iapun memercikkan air ke wajah suaminya. [HR Abu Dawud II/33 no 1308 dan Ibnu Majah I/424 no 1336 dari hadits Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرَا وَالذَّاكِرَاتِ

Barangsiapa yang bangun di tengah malam dan membangunkan istrinya lalu mereka berdua sholat bersama dua rakaat maka mereka berdua akan dicatat sebagai laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah [ HR Abu Dawud II/70 no 1451 dan Ibnu Majah no 1335 dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurarah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Allah berfirman

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً (الأحزاب : 35 )

laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33:35)



(8) Tidak memiliki rasa cemburu

Sebagian suami sama sekali tidak memiliki rasa cemburu, jika istrinya keluar dari rumahnya kemudian dilihat oleh para lelaki, atau istrinya bercampur dengan para lelaki di tempat kerja, atau istrinya berdua-duaan dengan seorang lelaki lain di mobil, atau istrinya berbicara dengan lelaki lain di telepon, atau istrinya berbicara lama dengan lelaki lain di hadapannya, atau saling sms-sms-an dengan lelaki lain, dan seterusnya…kemudian ia tidak merasa cemburu….lelaki macam apakah ini yang tidak cemburu….

Tidak adanya rasa cemburu inilah yang menyebabkan timbulnya kerusakan di masyarakat, timbulnya berbagai macam penyakit sosial…

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah jauh-jauh mewanti-wanti bahaya sifat ini, beliau bersabda

ثَلاَثَةٌ حَرَّمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ عَلَيْهِمِ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُ وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ الْخَبَثَ فِي أَهْلِهِ

Tiga golongan yang Allah mengharamkan surga atas mereka, pecandu bir, anak yang durhaka kepada orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kemaksiatan pada istrinya (keluarganya). [Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no 2512 dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, lihat juga syahidnya dari hadits ‘Ammar bin Yasir no 2071 dan 2367]

Dayuts adalah orang yang tidak memiliki rasa cemburu karena istrinya. [Lisanul ‘Arab II/150, An-Nihayah fi ghorinil hadits IV/112]

Para ulama memandang sikap seperti ini merupakan dosa besar. [Al-Kabair I/54]

Namun yang menyedihkan yang terjadi di zaman ini, betapa banyak lelaki yang membiarkan istrinya terbuka menjadi bahan tontonan para lelaki, membiarkan para lelaki bergolak syahwatnya kerana melihat istrinya…. bahkan ia bangga dengan hal itu…, bangga kalau istrinya jadi barang tontonan, bangga jika aurat istrinya jadi pemuas nafsu pandangan para lelaki….

Bahkan sebagian kaum muslimin -yang terpengaruh dengan gaya hidup orang-orang kafir- memandang bahwasanya merupakan bentuk kemajuan dan modernisasi jika istrinya bertemu dengan sahabat lelaki suami maka sang istri mencium lelaki tersebut…

Bagaimana seorang mukmin yang sejati tidak cemburu melihat istrinya dicium oleh lelaki lain…??? inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun

Sesungguhnya wanita adalah sosok yang sangat mengharapkan perhatian dan kasih sayang suaminya. Hatinya akan berbinar-binar jika suaminya menyatakan kasih sayangnya dan cintanya padanya. Oleh karena itu terkadang seorang istri sengaja melakukan tingkah laku tertentu untuk menguji ukuran cinta suaminya kepadanya. Suami yang baik adalah yang mampu membuat istrinya merasa bahwa ia mencintainya. Jika seorang istri mengetahui bahwa suaminya cemburu karena dirinya maka ia akan sayang kepada suaminya karena ia merasa bahwa suaminya sayang kepadanya dan perhatian kepadanya.

Sebaliknya sebagian suami kecemburuannya berlebihan tanpa sebab. Hal ini timbul akibat prasangka buruk terhadap istrinya, yang tentunya hal ini sangat menjadikan sang istri menjadi tertekan karena gerak-geriknya selalu dianggap salah oleh suaminya, ia dianggap tidak sayang kepada suaminya…ia dianggap masih mencari pria lain…dan seterusnya tuduhan-tuduhan buruk di arahkan kepada istrinya yang sholihah yang sayang kepadanya.

(9) Menasehati istri namun bukan karena Allah

Jika nampak dari istri tanda-tanda ia mulai membangkang, mulai membantah, tidak taat kepada suami maka hendaknya ia menasehatinya dengan nasehat yang baik. Menasehatinya dengan membacakan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingatkan istrinya akan akhirat. Dan hendaknya ia sabar dalam menasehati istrinya dan mengulang-ngulang nasehatnya karena sebagian wanita sering sekali lupa dengan peringatan dan nasehat suaminya oleh karena itu seorang suami juga harus bersabar dalam menasehati istrinya. Dan yang paling penting hendaknya nasehat tersebut dia lakukan karena Allah.

Namun sebagian suami menasehati istrinya bukan karena Allah akan tetapi karena kepentingan pribadinya, karena ia tidak ingin namanya tercemar dengan sikap istrinya. Sebagian mereka berkata kepada istrinya, “Engkau jangan lakukan demikian, engkau hanya membuat aku malu saja…!!!”.

Barangsiapa yang menasehati istrinya karena Allah maka Allah akan memberi barokah pada nasehatnya tersebut dan insya Allah nasehatnya tersebut akan memberi pengaruh terhadap istrinya. Adapun jika ia menasehati karena kepentingan pribadinya maka pengaruh nasehat tersebut kurang, atau bahkan tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Peringatan

Hendaknya seorang suami berusaha menghafal dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermanfaat untuk menasehati istrinya. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang dibacakan, demikian juga dengan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang sangat luar biasa terhadap sang istri. Dan jika sang istri terbiasa mendengar ayat-ayat serta sabda-sabda Nabi maka ia akan terbiasa patuh dan taat kepada suaminya karena menjalankan perintah Allah dan RasulNya.


(10) Menasehati istri langsung dengan ancaman

Sebagian suami jika melihat istrinya melakukan kesalahan langsung mengancam istrinya dengan ancaman-ancaman yang berat, dan yang peling berat bagi sang istri adalah jika diancam dengan cerai. Misalnya dengan berkata, “Jika kamu tetap begini keadaannya maka lebih baik kita cerai…”. Apalagi zaman sekarang banyak suami yang karena –kebodohannya dalam menasehati istrinya- dan juga karena ketidaksabarannya maka jika istrinya bersalah langsung ia ancam untuk menceraikannya.

Hal ini jelas keliru dan kurang mendidik sang istri. Yang benar hendaknya yang pertama kali ia lakukan adalah memperingatkan istrinya tatkala bersalah dengan menyebut ayat atau hadits dan mengingatkannya dengan hari kiamat bahwasanya perbuatannya itu akan berakibat fatal di akhirat kelak.

Syaikh Utsaimin berkata, ((Dan nasehat adalah dengan mengingatkan sang istri dengan perkara-perkara (dalil-dalil) yang membuatnya semangat (untuk taat kepada suami-pen) atau yang membuatnya takut (jika tidak taat kepada suaminya-pen). Hendaknya sang suami menasehati istrinya dengan menyebutkan ayat-ayat yang menunjukan akan wajibnya taat kepada suami dengan baik, dan hadits-hadits yang memperingatkan akan tidak bolehnya sikap membangkang terhadap suami seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami meminta istrinya untuk melayaninya di tempat tidur dan sang istri menolak lantas sang suami bermalam dalam keadaan marah maka malaikat akan melaknat sang istri hingga pagi hari” [HR Al-Bukhari no 3065 dan Muslim no 1436]

Dan hadits-hadits yang semisal ini.

Maka hendaknya pertama kali ia menasehati istrinya, dan jika sang istri menerima nasehat tersebut maka hal ini lebih baik daripada jika sang istri taat karena takut ancaman suami. Maksudnya lebih baik dari perkataan suaminya, “Kamu hendaknya meluruskan dirimu kalau tidak maka kamu akan aku cerai !!”, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh. Engkau dapati dia (selalu) mengancam istrinya dengan cerai, padahal dia tidak mengetahui bahwasanya hal ini menyebabkan sang istri lebih menjauhi darinya. Seakan-akan sang istri hanyalah seekor kambing yang jika dia kehendaki maka dia jual, dan jika dia kehendaki maka tetap jadi miliknya.

Metode yang benar adalah hendaknya sang suami mengingatkan sang istri dengan ayat-ayat Allah hingga sang istri patuh karena menjalankan perintah Allah…)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]


(11) Salah mepraktekkan hajr

Sebagian suami salah mempraktekan firman Allah {وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ} ((jauhilah mereka di tempat tidur)), sehingga jika mereka marah kepada istri mereka maka mereka langsung meninggalkan rumah atau mengusir istrinya dari rumahnya. Hal ini keliru karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa termasuk hak seorang wanita terhadap suaminya

وَلاَ يَهْجُرَ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Dan tidak menghajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah” [HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah. Hadits ini dishahihkan oleh Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal (sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir IV/7 no 1661) dan juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, ((Yaitu janganlah engkau meng-hajr istrimu lantas engkau keluar meninggalkan rumah, atau engkau mengeluarkannya dari rumah. Jika engkau ingin meng-hajr istrimu maka hajrlah ia dan engkau tetap di rumah. Dan hajr di rumah ada beberapa macam.

1. Hajr dengan memutuskan pembicaraan. Dan hajr ini tidak boleh lebih dari tiga hari karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." [HR. al-Bukhari V/2302 no 5879 dan Muslim IV/1984 no2560]

Jika telah lebih dari tiga hari maka wajib bagi sang suami untuk memberi salam kepada sang istri. Jika ternyata tiga hari tidak cukup untuk meng-hajr istri maka setiap tiga hari hendaknya sang suami mengucapkan salam kepada istrinya

2. Hajr dengan makanan. Misalnya jika merupakan kebiasaanmu engkau makan siang dengan istrimu hajrlah ia (janganlah makan bersamanya biarkan ia makan sendiri)

3. Hajr dengan meninggalkan tidur bersama. Dan hajr ini bentuknya banyak diantaranya

- Tidak menjimaknya dan mencumbuinya dan yang semisalnya

- Menampakkan punggungmu kepadanya (tidak menengok kepadanya) tatkala tidur

- Engkau tidur di tempat tidur dan dia di tempat tidur yang lain

- Engkau tidur di kamar dan dia di kamar yang lain

4. Meng-hajr dengan meninggalkan sifat baik yang biasanya ia lakukan kepada istrinya. Misalnya ia biasanya bergurau dengan istrinya maka iapun meninggalkan gurauan tersebut)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4. Lihat juga Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]

Adapun Syaikh Sholeh Fauzan menguatkan pendapat bahwa hajr dalam ayat di atas yaitu sang suami tetap tidur bersama sang istri hanya saja ia berpaling dari sang istri, misalnya dengan membalikan badannya hingga punggungnya diarahkan kepada sang istri. Dan ini adalah zhohir dari firman Allah ((di tempat tidur)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, "Jika sang suami meng-hajr istrinya maka hendaknya ia menghajrnya secara intern antara mereka berdua saja dan tidak di hadapan orang banyak" [Taudhihul Ahkaam min Bulughil Marom IV/453]. Oleh karena itu merupakan sikap yang salah jika seorang suami tatkala meng-hajr istrinya ia tampakkan atau iklankan di hadapan orang banyak. Hal seperti ini terkadang menimbulkan rasa dendam istrinya sehingga tidak tercapailah maslahat yang diinginkan.

Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya meng-hajr dengan meninggalkan rumah jika memang bermanfaat bagi sang istri. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr istri-istrinya selama dua puluh sembilan hari [ HR Al-Bukhari V/1996 no 4906]. Dan ini adalah pendapat Ibnu Hajar[1], beliau berkata, “Dan Yang benar hajr itu bervariasi sesuai dengan variasinya keadaan, terkadang hajr yang dilakukan dan suami tetap di rumah lebih terasa berat bagi sang istri dan bisa jadi sebaliknya, bahkan biasanya hajr yang dilakukan oleh suami dengan meninggalkan rumah lebih terasa menyakitkan bagi para wanita terutama karena hati mereka yang lemah”[2]

HANYA UNTUK PARA ISTRI (Karakteristik Istri Sholihah)

Sesungguhnya banyak sifat-sifat yang merupakan ciri-ciri seorang istri sholihah. Semakin banyak sifat-sifat tersebut pada diri seorang wanita maka nilai kesholehannya semakin tinggi, akan tetapi demikian juga sebaliknya jika semakin sedikit maka semakin rendah pula nilai kesholehannya. Sebagian Sifat-sifat tersebut dengan tegas dijelaskan oleh Allah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebagiannya lagi sesuai dengan penilaian 'urf (adat). Karena pasangan suami istri diperintahkan untuk saling mempergauli dengan baik sesuai dengan urf.

Sifat-sifat tersebut diantaranya :

Pertama : Segera menyahut dan hadir apabila dipanggil oleh suami jika diajak untuk berhubungan.

Karena sifat ini sangat ditekankan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Nabi memerintahkan seorang istri untuk segera memenuhi hasrat seorang suami dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan beliau bersabda “Jika seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istri itu menolak. Kemudian, suami itu bermalam dalam keadaan marah, maka istrinya itu dilaknat oleh para malaikat hingga waktu pagi.”


Kedua : Tidak membantah perintah suami selagi tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman :

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS An-Nisaa : 34)

Qotadah rahimahullah berkata فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ "Yaitu wanita-wanita yang taat kepada Allah dan kepada suami-suami mereka" (Ad-Dur al-Mantsuur 4/386)

Terkadang pendapat suami bertentangan dengan pendapat istri, karena pendapat istri lebih baik. Seorang istri yang sholehah hendaknya ia menyampaikan pendapatnya tersebut kepada sang suami akan tetapi ia harus ingat bahwasanya segala keputusan berada di tangan suami, apapun keputusannya selama tidak bertentangan dengan syari'at.

Ketiga : Selalu tidak bermasam muka terhadap suami.

Keempat : Senantiasa berusaha memilih perkataan yang terbaik tatkala berbicara dengan suami.

Sifat ini sangat dibutuhkan dalam keutuhan rumah tangga, betapa terkadang perkataan yang lemah lembut lebih berharga di sisi suami dari banyak pelayanan. Dan sebaliknya betapa sering satu perkataan kasar yang keluar dari mulut istri membuat suami dongkol dan melupakan kebaikan-kebaikan istri.

Yang jadi masalah terkadang seorang istri tatkala berbicara dengan sahabat-sahabat wanitanya maka ia berusaha memilih kata-kata yang lembut, dan berusaha menjaga perasaan sahabat-sahabatnya tersebut namun tidak demikian jika dengan suaminya.

Kelima : Tidak memerintahkan suami untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan wanita, seperti memasak, mencuci, memandikan dan mencebok anak-anak.

Keenam : Keluar rumah hanya dengan izin suami.

Ketujuh : Berhias hanya untuk suami.

Tidak sebagaimana sebagian wanita yang hanya berhias tatkala mau keluar rumah sebagai hidangan santapan mata-mata nakal para lelaki.

Kedelapan : Tidak membenarkan orang yang tidak diizinkan suami masuk/bertamu ke dalam rumah.

Kesembilan : Menjaga waktu makan dan waktu istirahatnya kerana perut yang lapar akan membuatkan darah cepat naik. Tidur yang tidak cukup akan menimbulkan keletihan.

Kesepuluh : Menghormati mertua serta kerabat keluarga suami.

Terutama ibu mertua, yang sang suami sangat ditekankan oleh Allah untuk berbakti kepadanya. Seorang istri yang baik harus mengalah kepada ibu mertuanya, dan berusaha mengambil hati ibu mertuanya. Bukan malah menjadikan ibu mertuanya sebagai musuh, meskipun ibu mertuanya sering melakukan kesalahan kepadanya atau menyakiti hatinya. Paling tidak ibu mertua adalah orang yang sudah berusia lanjut dan juga ia adalah ibu suaminya.

Kesebelas : Berusaha menenangkan hati suami jika suami galau, bukan malah banyak menuntut kepada suami sehingga menambah beban suami

Kedua belas : Segera minta maaf jika melakukan kesalahan kepada suami, dan tidak menunda-nundanya.

Nabi shallallahu 'alaihi bersabda :

" أَلاَ أُخْبِرُكُمْ ....بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ : لاَ أَذُوْقُ غُمْضًا حَتَّى تَرْضَى"

"Maukah aku kabarkan kepada kalian….tentang wanita-wanita kalian penduduk surga? Yaitu wanita yang penyayang (kepada suaminya), yang subur, yang selalu memberikan manfaat kepada suaminya, yang jika suaminya marah maka iapun mendatangi suaminya lantas meletakkan tangannya di tangan suaminya seraya berkata, "Aku tidak bisa tenteram tidur hingga engkau ridho kepadaku" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Sahihah no 287)

Karena sebagian wanita memiliki sifat angkuh, bahkan malah sebaliknya menunggu suami yang minta maaf kepadanya.

Ketiga belas : Mencium tangan suami tatkala suami hendak bekerja atau sepulang dari pekerjaan.

Keempat belas : Mau diajak oleh suami untuk sholat malam, bahkan bila perlu mengajak suami untuk sholat malam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ, فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. وَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى, فَإِنْ أَبَى نَضَحَت فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki (suami) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya hingga istrinya pun shalat. Bila istrinya enggan, ia percikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita (istri) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suaminya hingga suaminya pun shalat. Bila suaminya enggan, ia percikkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud no 1308)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا في الذَّاكِرِيْنَ وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki (suami) membangunkan istrinya di waktu malam hingga keduanya mengerjakan shalat atau shalat dua rakaat semuanya, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang berzikir.” (HR Abu Dawud no 1309)

Dalam riwayat yang dikeluarkan An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ, كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki (suami) bangun di waktu malam dan ia membangunkan istrinya lalu keduanya mengerjakan shalat dua rakaat, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat/berdzikir kepada Allah.”

Kelima belas : Tidak menyebarkan rahasia keluarga terlebih lagi rahasia ranjang !!. Bahkan berusaha menutup aib-aib suami, serta memuji suami agar menambahkan rasa sayang dan cintanya.

Keenam belas : Tidak membentak atau mengeraskan suara di hadapan suami.

Ketujuh belas : Berusaha untuk bersifat qona'ah (nerimo) sehingga tidak banyak menuntut harta kepada suami.

Kedelapan belas : Tidak menunjukkan kesedihan tatkala suami sedang bergembira, dan sebaliknya tidak bergembira tatkala suami sedang bersedih, akan tetapi berusaha pandai mengikut suasana hatinya.

Kesembilan belas : Berusaha untuk memperhatikan kesukaan suami dan jangan sampai suami melihat sesuatu yang buruk dari dirinya atau mencium sesuatu yang tidak enak dari tubuhnya.

Kedua puluh : Berusaha mengatur uang suami dengan sebaik-baiknya dan tidak boros, sehingga tidak membeli barang-barang yang tidak diperlukan.

Kedua puluh satu : Tidak menceritakan kecantikan dan sifat-sifat wanita yang lain kepada suaminya yang mengakibatkan suaminya bisa mengkhayalkan wanita tersebut, bahkan membanding-bandingkannya dengan wanita lain tersebut.

Kedua puluh dua : Berusaha menasehati suami dengan baik tatkala suami terjerumus dalam kemaksiatan, bukan malah ikut-ikutan suami bermaksiat kepada Allah, terutama di masa sekarang ini yang terlalu banyak kegemerlapan dunia yang melanggar syari'at Allah

Kedua puluh tiga : Menjaga pandangannya sehingga berusaha tidak melihat kecuali ketampanan suaminya, sehingga jadilah suaminya yang tertampan di hatinya dan kecintaannya tertumpu pada suaminya.

Tidak sebagaimana sebagian wanita yang suka membanding-bandingkan suaminya dengan para lelaki lain.

Kedua puluh empat : Lebih suka menetap di rumah, dan tidak suka sering keluar rumah.

Kedua puluh lima : Jika suami melakukan kesalahan maka tidak melupakan kebaikan-kebaikan suami selama ini. Bahkan sekali-kali tidak mengeluarkan perkataan yang mengisyaratkan akan hal ini. Karena sebab terbesar yang menyebabkan para wanita dipanggang di api neraka adalah tatkala suami berbuat kesalahan mereka melupakan dan mengingkari kebaikan-kebaikan suami mereka.



Setelah membaca dan memperhatikan sifat-sifat di atas, hendaknya seorang wanita benar-benar menimbang-nimbang dan menilai dirinya sendiri. Jika sebagian besar sifat-sifat tersebut tercermin dalam dirinya maka hendaknya ia bersyukur kepada Allah dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dan terbaik.

Akan tetapi jika ternyata kebanyakan sifat-sifat tersebut kosong dari dirinya maka hendaknya ia ber-instrospeksi diri dan berusaha memperbaiki dirinya. Ingatlah bahwa surga berada di bawah telapak kaki suaminya !!!

Tentunya seorang suami yang baik menyadari bahwa istrinya bukanlah bidadari sebagaimana dirinya juga bukanlah malaikat. Sebagaimana dirinya tidak sempurna maka janganlah ia menuntut agar istrinya juga sempurna.

Akan tetapi sebagaimana perkataan penyair :

مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَي سَجَايَاه كُلُّهَا...كَفَى الْمَرْءَ نُبْلًا أَنَّ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ

"Siapakah yang seluruh perangainya diridhoi/disukai…??

Cukuplah seseorang itu mulia jika aibnya/kekurangannya masih terhitung…"

Hukum ketika seorang suami menceraikan istrinya

Ketika seorang suami menceraikan istrinya, maka berlaku beberapa hukum berikut:
Pertama, Istri yang dicerai harus menjalani masa iddah
Masa iddah untuk wanita yang masih haid adalah selama 3 kali haid. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Para wanita yang dicerai, menunggu status dirinya (tidak menikah) selama tiga quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ulama berbeda pendapat tentang makna quru’. Ada yang mengatakan quru adalah haid dan ada yang mendefinisikan quru’ sebagai masa suci haid. Pendapat yang kuat –Allahu a’lam– quru’ maknanya adalah haid.

Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak satu dan dua, wanita wajib tinggal bersama suami yang mentalaknya. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Thalaq: 1)

Sayid Sabiq mengatakan, “Wajib bagi wanita yang menjalani masa iddah untuk tetap tinggal di rumah suaminya (atau di tempat yang sama dengan suaminya) sampai selesai masa iddah-nya. Dia tidak boleh keluar (tinggal di luar), demikian pula suaminya tidak boleh mengusirnya dari rumahnya. Jika suami menjatuhkan talak ketika istri sedang tidak di rumah suaminya (misal: di rumah orang tuanya), maka sang istri wajib untuk kembali pulang ke rumah suami (meskipun kontrakan), persis setelah dia tahu bahwa suaminya menceraikannya.” (Fiqih Sunnah, 2:334, tambahan dalam kurung dari penerjemah)



Ketiga, sesungguhnya suami yang menceraikan istri sebelum tiga kali, selama menjalani masa iddah, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.

Allah berfirman,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Syaikh Mustofa Al-Adawi mengatakan, “Allah Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)

Keempat, selama masa iddah, suami paling berhak untuk menentukan rujuk

Allah berfirman,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ
“Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu…” (QS. Al-Baqarah: 228)

Berdasarkan ayat ini, para ulama menegaskan bahwa suami lebih berhak untuk menentukan rujuk dan tidaknya pernikahan. Jika suami ingin rujuk, maka hubungan keluarga dilangsungkan kembali, meskipun istri menolaknya. Sebaliknya, ketika istri menghendaki rujuk, sementara suami tidak menginginkan maka rujuk tidak bisa dilakukan. Si istri hanya bisa mengajukan permohonan kepada suami agar bersedia untuk rujuk. Namun, ini hanya berlaku selama masa iddah. Demikian keterangan Al-Qurthubi, bahkan beliau menyatakan bahwa hal itu dengan sepakat ulama. (Tafsir Al-Qurthubi, 3:120)

Kelima, Setelah selesai masa iddah

Setelah selesai masa iddah, status kedua pasangan ini tidak lagi suami istri. Si laki-laki bukan lagi suaminya dan si wanita bukan lagi istrinya. Mereka wajib berpisah sebagaimana hukum yang berlaku pada lelaki maupun wanita yang bukan mahram.

Setelah selesai masa iddah inilah si istri kembali menjadi wanita yang sama sekali tidak terikat dengan kewajiban rumah tangga. Dia berhak untuk menentukan keputusannya sendiri. Sehingga jika si lelaki ingin kembali membangun rumah tangga maka wajib melalui fase-fase pernikahan pada umumnya; harus meminang, ada izin wali, akad nikah baru, ada mahar baru, dan wajib dengan saksi, sebagaimana layaknya hukum pernikahan. Al-Qurthubi mengatakan bahwa hal ini dengan sepakat ulama. (Tafsir Al-Qurthubi, 3:120)

Allahu a’lam.

PENYEBAB PERCERAIAN DAN KIAT MENGANTISIPASINYA

Oleh Syaikh Dr. Muhammad Nasir Al Humaid

Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyaknya terjadi kasus perceraian di dunia Islam yang disebabkan berbagai macam faktor, yang sebenarnya dapat diantisipasi. Padahal dampaknya sangat mengkhawatirkan di masyarakat; secara individual maupun kelompok masyarakat. Bukankah sangat mungkin untuk mencari solusi permasalahan ini dalam khazanah syari’at Islam yang memiliki kompleksitas dan sempurna?

Tulisan ini merupakan karya seorang ulama yang bernama Dr. Muhammad Nasir Al Humaid. Beliau salah seorang staf pengajar di Jami’ah Islamiyah Al Madinah. Tulisan yang merupakan refleksi terhadap masyarakat dunia Islam yang kini semankin jauh dari pedoman Al Qur’an dan Sunnah. Akibat dari itu, upaya syari’at untuk menciptakan tatanan masyarakat Islam yang baik dan benar dengan jalinan pernikahan mulai goyah dengan banyaknya kasus perceraian.

Dalam tulisan ini, beliau menyebutkan beberapa point penting yang menjadi penyebab perceraian. Kebanyakan dari sebab-sebab itu, dapat diantisipasi dan ada solusinya. Namun, ada pula yang tidak memiliki alternatif lain, kecuali perceraian.

Beliau membagi sebab perceraian ini menjadi tiga bagian. Pertama, sebab perceraian yang datangnya dari suami. Kedua, sebab perceraian yang datangnya dari istri. Ketiga, sebab perceraian yang disebabkan oleh keluarga kedua pasangan suami-istri.

Tulisan berikut merupakan bagian kedua sebagai kelanjutan dari pembahasan edisi 07. Semoga bermanfaat.
____________________________

Keenam : Perilaku suami yang jelek acapkali membuat istri menuntut khulu' (minta diceraikan dengan mengembalikan mahar yang diberikan suami). Banyak suami yang memiliki perangai yang jelek, bermulut keji, selalu mengumpat, melaknat ataupun selalu memukul istri.

Hendaklah para suami takut kepada Allah dalam mempergauli istri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya istri. Yang sang istri ini dapat meredam gejolak syahwatnya dan menjadikannya iffah (menjaga kesucian diri), apalagi jika istri telah melahirkan anak-anaknya. Bukankah hal ini sepatutnya menjadikannya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat.

إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri.

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

Ingatlah, berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri. Sesungguhnya, mereka adalah 'awanin [1] (tawanan) di sisi kalian.[2]

Rasulullah bersabda,”Janganlah kalian pukul para istri kalian,” maka Umar datang kepada Rasulullah dan berkata,"Zu'irna [3] an nisa (para istri telah berani menentang para suami),” maka Rasulullah memperbolehkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, datanglah para wanita ke rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadu perlakuan suami mereka, maka Rasulullah berkata,”Banyak para wanita datang ke rumah keluarga Muhammad mengadukan perlakuan suami mereka. Sesungguhnya, para suami yang berbuat itu (memukul istri) bukanlah orang-orang yang terbaik diantara kalian.” [4]

Beliau juga bersabda.

لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ

Janganlah salah seorang kalian memukul istrinya seperti memukul hamba, kemudian dia mencampurinya di penghujung hari. [5]

Dalam riwayat lain disebutkan.

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ

Kenapa salah seorang kalian memukul istrinya sebagaimana memukul hamba, kemudian menyetubuhinya di penghujung hari? [6]

Ketujuh : Suami ingin menguasai harta istri, atau memaksa istri agar memberikan harta yang dimilikinya itu kepadanya. Kasus ini banyak menimpa para istri yang memiliki pekerjaan. Biasanya akan merusak hubungan antara keduanya, dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.

Allah berfirman.

وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ

Janganlah kalian menahan mereka (para istri) (untuk dapat menikah) agar kalian dapat membawa sebagian dari harta yang mereka berikan kepada kalian, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. [An Nisa:19].

Allah berfirman.

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Jika mereka dengan rela memberikan kepada kalian harta mereka, maka makanlah dengan baik-baik. [An Nisa:4].

Tidak halal bagi suami mengambil harta istri, kecuali dengan kerelaannya atau jika istri berbuat nuzus. Ketika seorang pria menikahi wanita yang berharta, jika menginginkan harta istrinya, maka dituntut darinya untuk berlemah-lembut. Cara ini lebih efektif baginya untuk mendapatkan keinginannya. Cara lain yang diizinkan untuknya, yaitu dengan mengajukan persyaratan, bahwa istri harus membantunya dengan memberikan sebagian dari hasil gajinya. Dan hal ini sah-sah saja; apalagi dengan bekerjanya sang istri, akan mengurangi sedikit banyak perhatian dan kewajibannya terhadap suami. Demikian ini tidak dapat diingkari, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin wajib menepati janji (kesepakatan) yang mereka perbuat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan yang haram.[7]

Berapa banyak rumah tangga hancur berantakan ketika istri tidak memberikan apa yang diharapkan suami. Para istri hendaklah memahami hal ini, demi menjaga kelangsungan rumah tangga dan demi kemaslahatan anak-anak agar tidak terlantar. Allah berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ(Sesungguhnya berdamai itu lebih baik). Perbuatan wanita memberikan sebagian harta kepada suami adalah merupakan upaya untuk berdamai. Semoga Allah akan memberikan kepadanya ganjaran terbaik. Allah berfirman.

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ

Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat islah, maka ganjaran pahalanya di sisi Allah. [Asy Syura:40]

Kedelapan : Sikap acuh suami terhadap istri.
Banyak para suami tidak memberikan perhatian yang cukup dan lebih senang tidur di luar rumah daripada berkumpul dan berkomunikasi dengan istri. Apalagi, terkadang kesibukannya di luar rumah dalam hal-hal yang sepele dan tidak bermanfaat.

Seorang suami dituntut untuk dapat memberikan waktu dan perhatian yang cukup kepada istri. Tidak dibenarkan terus-menerus meninggalkan istri, walaupun dengan dalih sibuk mengerjakan ibadah-ibadah, seperti puasa sunnah maupun shalat malam. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Jasadmu memiliki hak (beristirahat), matamu memiliki hak (untuk tidur), dan istrimu memiliki hak atas dirimu.[8]

Pernah seorang wanita mendatangi Umar Ibn Al Khathab untuk mengadu,”Wahai, Amirul Mukminin. Suamiku seorang yang selalu berpuasa dan shalat malam. Aku sebenarnya enggan melaporkannya kepadamu karena sikapnya yang selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah1.” Umar menjawab,”Alangkah bagusnya suamimu,” namun wanita itu masih mengulangi perkataannya, dan Umar menjawab jawaban yang sama. Akhirnya, Ka'ab Al Asadi berkata,”Wahai, Amirul Mukminin. Wanita ini sebenarnya mengadukan sikap suaminya yang tidak peduli lagi padanya,” maka Umar berkata,”Sebagaimana yang engkau pahami dari wanita ini, maka engkau kuserahkan untuk mengadili perkara ini.” Akhirnya Ka'ab memanggil suami wanita itu. Ketika (suami wanita itu) datang, Ka'ab berkata kepadanya,”Istrimu mengadukan engkau kepada Amirul Mukminin.” Dia bertanya,”Karena apa? Apakah karena tidak kuberi makan ataupun minum?” Ka'ab menjawab,”Tidak.”

Akhirnya wanita itu berkata:

يَاأَيُّهَا الْقَاضِي الْحَكِيْمُ رُشْدُهُ أَلْهَى خَلِيْلِيْ عَنْ فِرَاشِي مَسْجِدُهُ
زَهَدَهُ فِي مَضْجَعِي تَعَبُّدُهُ فَاقْضِ الْقُضَا كَعْبُ وَلاَ تُرَدِّدُهُ
نَهَارُهُ وَلَيْلُُهُ مَا يَرْقُدُهُ فَلَسْتُ فِي أَمْرِ النِِّسَاءِ أَحْمَدُهُ

Wahai hakim yang bijaksana,
Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku
Beribadah membuatnya tidak membutuhkan ranjangku
Adililah perkara ini, wahai Ka'ab dan jangan kau tolak
Siang dan malam tidak pernah tidur
Dalam hal mempergauli wanita, aku tidak memujinya

Kemudian suaminya menjawab:

زَهَدَنِي فِي فِرَاشِهَا وَفِي الْحَجَلِ أَنِّي امْرُؤٌ أَذْهَلَنِي مَا قَدْ نَزَلَ
فِي سُوْرَةِ النَّحْلِ وَفِي السَّبْعِ الطُّوْلِ وَفِي كِتَابِ اللهِ تَخْوِيْفٌ جَلَحَ

Aku Zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya
Karena aku telah dibuat sibuk dan binggung dengan apa yang telah turun
Yaitu surat An Nahl dan tujuh surat yang panjang
Dan Kitab Allah membuat hatiku takut dan risau

Setelah mendengar ini, Ka'ab berkata:

إِنَّ لَهَا عَلَيْكَ حَقًّا يَا رَجُلُ نَصِيْبُهُا فِي أَرْبَعَ لِمَنْ عَقَلَ
فَاعْطِهَا ذَاكَ وَدَعْ عَنْكَ الْعِلَلَ

Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki
Jatahnya empat hari bagi orang yang berakal
Berikah hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu [9]

Kesembilan : Sepele dengan lafazh “thalak”.
Sebagian suami, sering terlihat begitu ringannya mengeluarkan kata-kata “thalak” kepada istrinya. Terkadang sambil bergurau meluncur dari mulutnya ucapan talak. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ

Tiga macam perkara akan tetap terjadi, walaupun diucapkan dengan sungguh-sungguh ataupun dengan bergurau, yaitu: nikah, talak, dan ruju'.[10]

Selayaknya, seorang suami menjaga lidahnya. Tidak menyepelekan lafazh thalak, yang tanpa disadarinya dapat meruntuhkan bangunan rumah tangga, hingga akhirnya dapat mendatangkan penyesalan yang berkepanjangan, setelah nasi menjadi bubur.

Kesepuluh : Ila' (sumpah suami) untuk tidak mencampuri istrinya selamanya, ataupun lebih dari empat bulan.
Demikian Ini merupakan bentuk kezhaliman suami terhadap istri. Pada kondisi seperti ini, istri berhak menuntut perceraian setelah lewat empat bulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Bagi suami-suami yang bersumpah tidak mencampuri istrinya, maka istri menunggu selama empat bulan. Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang. Jika dia berniat untuk menceraikannya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui. [Al Baqarah: 226-227].

Maka hendaknya para suami tidak menzhalimi hak-hak istri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Takutlah kalian berbuat zhalim. Sesungguhnya, kezhaliman itu kegelapan pada hari kiamat. [11]

Jika masa empat bulan akan berakhir, seharusnya dia ruju' kepada istrinya, sebagaimana dianjurkan Allah dalam firmanNya: Jika dia kembali dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang (Al Baqarah:226). Jika tidak ruju’, maka wajib atasnya menceraikan istrinya, jika si istri menuntutnya. Namun, jika istri sabar (tidak minta cerai, walaupun telah lewat empat bulan), demi kepentingan anak ataupun hal lainnya, maka boleh saja selama dirinya yakin terjaga dari perbuatan haram. Insya Allah dia (istri) akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah, dengan harapan semoga suaminya kelak mendapat petunjuk dari Allah. Allah berfirman.

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dimudahkan baginya segala urusannya. [Ath Thalaq:4].

Kesebelas : Merasa tidak senang karena istri melahirkan anak perempuan. Karena faktor kejahilan, sebagian suami mengancam akan menceraikan istrinya, jika mendapat bayi perempuan.

Sebenarnya wajib baginya beriman dengan ketetapan Allah dan takdirNya. Bayi wanita ataupun pria itu lahir atas kehendakNya semata. Adapun manusia, tidak bisa memilih. Allah berfirman.

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ

Dan Rabb-mu yang mencipta apa-apa yang dikehendakiNya dan memilih, tidak ada hak manusia untuk memilih. [Al Qhasas: 68].

Allah juga berfirman.

وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا

Dia memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi perempuan, dan memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi laki-laki, Dia juga yang menjadikan siapa-siapa yang dikehendakiNya mandul. [Asy Syura:49-50].

Keduabelas : Muncul perasaan tidak suka terhadap istri, karena selalu membandingkan istrinya dengan wanita lain yang lebih baik dari istrinya dalam agama, akhlak, kecantikan, ilmu, kecerdasan dan sebagainya. Akhirnya, suami menjauhi istrinya tanpa ada sebab syar'i, seperti: istri meyeleweng ataupun menentang suami.

Seharusnya suami bersabar agar dia beruntung mendapatkan janji Allah.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaullah kepada mereka dengan baik. Bias jadi kalian membenci sesuatu, namun Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak. [An Nisa:19].

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Abbas berkata,”Suami berlemah-lembut terhadap istrinya, maka Allah memberikan karunia anak-anak yang baik-baik.”

Ibnu Katsir berkata,”Mungkin sikap sabar kalian dengan tidak menceraikan istri yang tidak kalian sukai, akan membuahkan kebahagian bagi kalian di dunia dan akhirat.”

Imam Asy Syaukani berkata,”Semoga sikap benci kalian terhadap istri, akan digantikan Allah dengan sikap cinta yang akan mendatangkan kebaikan yang banyak, hubungan yang mesra ataupun rezeki anak-anak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

(Janganlah seseorang membenci pasangannya. Jika ia benci kepada salah satu sikap istrinya, pasti dalam hal lain ia akan rela).” [12]

Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Sangat sedikit rumah tangga yang dibangun di atas cinta. Namun, kebanyakan manusia bergaul (menikahi) pasangannya dengan dasar Islam, menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan.” [13]

Ibnul Arabi menyebutkan dengan sanadnya dan berkata,”Ada seorang syaikh yang dikenal berilmu dan memiliki kedudukan, bernama Abu Muhammad Ibn Abi Zaid [14]. Istrinya berperangai jelek, tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri dan selalu menyakiti suaminya dengan lidahnya. Orang-orang banyak yang heran dan mencela sikap sabarnya terhadap sang istri. Jika ditanya perihal sikap sabarnya terhadap istrinya, Abu Muhammad selalu berkata,”Aku telah diberikan Allah berbagai macam nikmat, berupa: kesehatan, ilmu dan budak-budak yang kumiliki. Mungkin sikap jelek istriku terhdapku disebabkan hukuman Allah kepadaku, karena dosa-dosaku. Aku takut, jika dia kuceraikan akan turun ujian kepadaku lebih berat dari ujian perangai istriku yang jelek.” [15]

Selayaknya, ini menjadi pelajaran berharga bagi para suami. Tidaklah menjadi masalah, jika ia ingin menikahi wanita lain sebagai tambahan. Allah berfirman.

فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ

Nikahilah wanita-wanita yang baik-baik, dua, tiga ataupun empat. [An Nisa:3].

Ketigabelas : Kecenderungan suami kepada salah satu istrinya -jika memiliki lebih dari satu- dengan alasan takut berbuat dosa ; sehingga ia terpaksa menceraikan istri yang kurang disukainya.

Dalam kondisi seperti ini, selayaknya istri yang akan diceraikan berdamai dengan suaminya, sebagaimana firman Allah.

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ

Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128] .

Dalam menafsirkan ayat ini, 'Aisyah berkata, ”Seorang suami melihat kekurangan pada istri yang tidak disukainya, seperti: usia yang telah tua dan sebab lainnya. Maka, ia berniat menceraikannya, namun istri memohon agar suami tidak menceraikannya, dan siap menerima apapun perlakuan suami terhadapnya. Demikian inilah solusi menghindari perceraian, jika keduanya sepakat.” [16]

Ibn Abbas meriwayatkan, ”Saudah takut Rasulullah menceraikannya (karena ia telah tua). Kemudian ia berkata,’Wahai Rasulullah, jangan ceraikan aku. Aku siap memberikan giliranku untuk ‘Aisyah,’ maka Rasul menerima usulan itu dan turunlah ayat: Tidak mengapa jika keduanya membuat kesepakatan, dan berdamai itu lebih baik.”[17]

Rafi’ Ibn Khadij menceritakan, bahwa ia memiliki istri yang telah tua. Kemudian ia menikahi wanita lain yang masih muda. Akhirnya Rafi’ lebih cenderung kepada istri yang muda. Melihat perlakuan Rafi', maka istrinya yang telah tua protes. Kemudian Rafi’ menjatuhkan thalak satu. Ketika masa iddahnya akan berakhir, Rafi’ berkata kepadanya,”Jika engkau mau, aku akan ruju' kepadamu; dengan syarat, engkau rela (dengan) perlakuanku padamu. Jika tidak, (maka) aku akan membiarkan hingga iddahmu selesai, dan tidak ruju' padamu,” maka istrinya menjawab,”Ruju'lah, aku akan berusaha sabar dengan sikapmu. Setelah Rafi ruju', ia kembali protes dengan perlakuan Rafi' kepadanya, maka Rafi’ memutuskan untuk menceraikannya. Rafi' berkata,”Itulah makna as sulhu yang telah diturunkan Allah dalam firmanNya: Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik.” [18]

Jelaslah maksud pengertian sulhu dalam ayat, yaitu istri siap menerima apapun yang diberikan suami kepadanya, walaupun harus dengan mengurangi sebagian haknya, berupa kewajiban suami bermalam padanya ataupun nafkah. Hal ini demi menghindari perceraian, dan dia tetap menjadi istri. Karena hal ini akan lebih baik baginya, dibandingkan hidup tanpa suami. Apalagi jika dia memiliki anak-anak dari suaminya, atupun dia telah tua dan takut terhadap resiko perceraian. Ingatlah firman Allah: Dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128].

Keempatbelas : Penyakit berkepanjangan yang menimpa suami. Terkadang hal ini menjadi penyebab istri menuntut cerai.
Andai saja istri mau bersabar dan tetap merawatnya dengan mengharap balasan dari Allah, hal itu akan lebih baik baginya, sebagaimana firman Allah.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi ganjaran yang tak terhingga. [Az Zumar:10]

Akan tetapi, jika dirinya takut akan tergelincir ke dalam perbuatan haram dengan menyeleweng, disebabkan sang suami tidak lagi dapat melayani kebutuhan biologisnya, (maka) dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa dia menuntut agar diceraikan demi menjaga agama dan kesucian dirinya; memelihara perkara ini merupakan sesuatu yang wajib.

Kelimabelas : Sikap curiga suami terhadap istri, akibat pengaruh bisikan syetan. Seharusnya dia berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk, dan tidak berperasangka buruk. Allah berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ

Wahai orang-orang beriman, jauhilah prasangka buruk, sesungguhnya prasangka buruk itu adalah dosa. [Al Hujurat:12].

Suami harus sadar, bahwa perkara yang paling diupayakan syetan ialah memisahkan antara dua suami istri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda.

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ

Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air, kemudian dia mengurus para tentaranya. Yang paling tinggi kedudukannya adalah syetan yang paling besar fitnahnya terhadap manusia. Salah satu dari mereka berkata kepada Iblis,”Aku telah berbuat begini dan begini,” Iblis menjawab,”Engkau belum berbuat apa-apa,” kemudian datang syetan yang lain dan berkata,”Tidaklah aku meninggalkan seseorang yang aku goda, hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya,” maka Iblis mendudukkannya di dekatnya dan berkata,”Engkau sebaik-baik tentaraku.” [19]

Keenambelas : Suami berada di bawah kekuasan istri. Pindahnya tampuk kepemimpinan rumah tangga kepada sang istri, yang semestinya berada di tanggan suami. Padahal Allah berfirman.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Lelaki adalah pemimpin bagi wanita dengan kelebihan yang Allah limpahkan kepada sebagian dari mereka dan dengan sebab nafkah yang mereka berikan (kepada istri-istri). [An Nisa:34]

Ini bisa mutlak terjadi, dikarenakan kelemahan pribadi suami atau anggapannya yang keliru, bahwa sikapnya itu sebagai wujud penghormatan kepada istrinya. Sehingga ketika ia sadar dan ingin mengembalikan kepemimpinan itu kepadanya, ternyata ia tidak sanggup. Sehingga, akhirnya berujung pada perceraian.

Semenjak menikah, seorang suami harus benar-benar sadar, bahwa kepemimpinan rumah tangga wajib berada di tanggannya. Jangan sampai rasa cinta yang berlebihan atau rasa bangga dapat menikahi wanita tersebut, akhirnya membuat dia lemah di hadapan istri dan berujung dengan penyesalan tak berguna.

Ketujuhbelas : Suami datang ke rumah istri pada malam hari setelah lama bepergian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini terkadang membuatnya melihat hal-hal yang dibencinya, karena istri dalam keadaan tidak siap menyambutnya. Rasulullah bersabda.

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا

Jika kalian bepergian lama, maka janganlah kalian mendatangi rumah istri kalian pada malam hari.[20]

Dalam riwayat lain disebutkan.

كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ

Agar para istri yang lama ditinggalkan berhias dengan menyisir rambut dan mencukur bulu kemaluannya.[21]

Selayaknya suami mendatangi rumah istrinya pada siang hari ketika ia pulang dari bepergian dalam masa yang lama, dan dengan memberitahukan terlebih dahulu perihal kepulangannya, istri agar tidak terkejut.

Kedelapanbelas : Rumah tangga yang dibina atas dasar surat-menyurat, ataupun saling berkomunikasi melalui telepon -yang popular dengan istilah pacaran sebelum menikah.

Mahligai rumah tangga yang dibanggun di atas pondasi kropos seperti ini, biasanya akan berujung dengan kehancuran. Aِِllah berfirman.

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرْفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Apakah sama orang yang membangun pondasinya di atas taqwa dan keridhaan Allah dengan orang yang membangun pondasinya di atas jurang neraka, yang akhirnya membuatnya terperosok ke neraka Jahannam; sesungguhnya Allah tidak akan menunjuki orang yang berbuat kezhaliman. [At Taubah:109]

Ibn Sa'di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya suatu perbuatan yang dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti sunnah, itulah makna dibangun di atas pondasi taqwa yang akan membuahkan surga penuh kenikmatan. Adapun perbuatan yang dibangun di atas niat buruk, bid'ah dan kesesatan, itulah pondasi yang dibangun di tepi jurang neraka, yang membuatnya terperosok ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak akan membimbing orang-orang yang zhalim.” [22]

Semestinya lelaki yang hendak melamar wanita datang kepada walinya, dan mendatangi rumah dari pintunya, sebagaimana firman Allah.

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا

Namun kebajikan itu adalah orang yang bertaqwa, dan masukilah rumah-rumah melaui pintunya. [Al Baqarah: 189]

Ibn Sa'di berkata, ”Dari ayat ini dapat dipetik manfaat, bahwa selayaknya manusia masuk dalam berbagai macam urusan dari jalan yang paling mudah, dekat yang akan mengantarkannya sampai kepada tujuan.” [23]

Para wanita jangan sampai terjerumus kepada hubungan haram (pacaran) yang menipu; agar tidak mengundang murka Rabb-nya yang akan mendatangkan kegagalan dalam hidupnya.

Kesembilanbelas : Ketika proses lamaran, suami tidak melihat calon istri. Terkadang dalam benaknya, suami berkhayal mengenai sosok istri yang ideal. Namun, selesai akad -ketika masuk ke kamar- dia terkejut melihat istri yang tidak seideal dalam alam khayalnya. Biasanya, ini akan membuatnya menjauh dari sang istri.

Karena itu, seharusnya calon suami melihat terlebih dahulu calon wanita yang akan dilamarnya. Pihak keluarga wanita jangan sampai menghalanginya, karena hal ini merupakan perintah Rasulullah n dan menjadi salah satu faktor yang dapat melanggengkan perkawinan.

Dari Mughirah Ibn Syu'bah, bahwa ia melamar seorang wanita, maka Rasulullah berkata kepadanya.

انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan melangengkan hubungan kalian berdua.[24]

Keduapuluh :Telat menikah. Para pakar berpendapat, bahwa terlambat menikah akan membuahkan hubungan yang tidak bahagia dan harmonis sebagaimana yang diimpikannya. Penyebabnya, karena keduanya telah banyak mengecap berbagai macam nilai-nilai ataupun norma-norma lingkungan dengan beragam coraknya. Hal ini membuatnya sulit untuk menyesuaikan tabiatnya dengan tabiat pasangannya. Hingga akhirnya banyak permasalahan yang muncul akibat benturan dua watak yang berbeda yang sulit dikompromikan. Survei maupun fakta yang ditemukan para pakar di lapangan membuktikan, bahwa hubungan perkawinan pasangan telat nikah akan segera cerai-berai dan bangunan rumah tangga yang mereka bina akan segera runtuh.

Oleh karena itu, selayaknya para pemuda bersegera menikah dan merealisasikannya. Kami ingatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ

Tiga macam manusia wajib bagi Allah membantunya; seorang mujahid di jalan Allah, budak yang ingin menebus diri untuk dapat merdeka dan seorang yang akan menikah untuk ‘iffah. [25]

Hadits ini memberikan motivasi kepada para pemuda, bahwa Allah berjanji akan menolongnya dan memudahkan urusannya, jika dia berazzam untuk menikah. Sehingga tidak ada lagi alasan baginya, kecuali mulai berusaha untuk merealisasikannya dan bertawakkal kepada Allah.

Hendaklah diketahui, bahwa menikah di usia dini akan memudahkan pasagan suami istri untuk dapat saling berinteraksi dan memahami tabiat masing-masing. Terlebih lagi nikah dini sangat efektif untuk menjaga kesucian umat, berdampak positif untuk kesehatan dan kedewasan berfikir, sebagaimana realita telah terbukti. Karena itulah Islam menganjurkannya.

Sebaliknya kaum wanita juga jangan telat menikah. Nikah dini lebih mendukung kebahagian rumah tangga, sebagaimana disebutkan di atas. Jika datang kepadanya pria yang sekufu' (setara), maka wajib baginya untuk menerima dan tidak menolak, walaupun dengan alasan studi dan sebagainya. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Bias jadi, tidak akan pernah lagi datang kepadanya lelaki yang sekufu’ atau malah tidak akan datang seorangpun yang melamarnya.

Jika ternyata masih ingin sekolah, hendaklah dia membuat perjanjian terlebih dahulu kepada suaminya, kecuali jika ternyata persyaratan ini akan menjadi sandungan dalam kehidupan rumah tangga. Jika ini terjadi, maka wajib baginya mendahulukan perkara yang dapat mendatangkan ketentraman dan mensucikan dirinya dengan memilih menikah. Hendaklah dia mengambil pelajaran dari para wanita yang telat menikah. Dikarenakan sebab-sebab di atas, akhirnya mereka banyak kehilangan kesempatan dan pahala.