Rabu, 09 Oktober 2013

Menata Hubungan Pasca Perselingkuhan, Mungkinkah?

… the world I know doesn’t exist anymore. Welcome to the real one … Dari beberapa plot cerita selingkuh “beneran” yang kebetulan masuk ke telinga saya diantaranya adalah: seorang istri yang diselingkuhi suami dengan perempuan yang kurang waras dan kemudian menterornya (seperti cerita film Fatal Attraction, minus kelinci yang direbus), seorang istri yang menemukan foto-foto telanjang berbagai pose (dan close up beberapa bagian tubuh paling pribadi) seorang perempuan yang dia kenali sebagai istri orang, yang dikirimkan secara digital ke suaminya (yeah, Jakarta’ crazy right..), seorang istri yang memiliki hubungan terbuka dengan suaminya (open marriage relationship) sehingga masing-masing bebas berpacaran dengan siapa saja namun tetap serumah dan tetap berpartner sebagai orang tua yang baik bagi anak-anak mereka, seorang istri yang berselingkuh dengan beberapa pria karena menganggap suaminya kurang tangguh secara ekonomi dibanding dirinya, seorang suami yang berselingkuh dengan banyak perempuan sementara sang istri dengan tenang dan sabar menelpon setiap selingkuhan suaminya untuk menghentikan perbuatan tersebut dan cerita-cerita fantastik lainnya. Tapi percaya, nggak, sebagian besar dari cerita-cerita tersebut tidak berakhir dengan perceraian, malah banyak di antaranya membuat hubungan perkawinan mereka menjadi lebih erat, lebih romantis dan lebih baik dari sebelumnya. Suami-suami atau istri-istri pelaku perselingkuhan seolah hanya berusaha menarik perhatian pasangannya saja karena selama ini ada masalah yang kurang dapat dikomunikasikan dan menghasilkan “jeritan” berupa perselingkuhan itu tadi. Bagaimana, sih, kok bisa begitu? Sudah dikhianati, kok, malah perkawinan jadi semakin baik? Sekali lagi saya bukan psikolog, maka berbagai analisis dan kesimpulan yang saya ambil berikut ini berdasarkan perspektif saya seorang awam di bidang psikologi, dengan sedikit membaca berbagai artikel psikologi yang tersedia online (di antaranya di website PsychologyToday.com, DrPhil.com) dan berdasarkan buku-buku berbagai teori yang saya baca selama ini, yang kebetulan sama sekali bukan buku psikologi. Satu-satunya tokoh psikologi yang saya baca bukunya saat kuliah dulu adalah Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya, itu pun bukan dalam rangka mempelajari psikologi. •FOKUS: KUTAHU YANG KUMAU “More marriages might survive if the partners realized that sometimes the better comes after the worse” – Doug Larson Saat pertama kali mengetahui pasangan kita berselingkuh tentu dunia serasa runtuh, dengkul terasa lemas, kepingin ngamuk dan lain-lainnya. Sekuatnya segera singkirkan hal-hal tersebut dan fokus kepada keinginan kita akan hubungan yang ternoda ini: ingin lanjut atau ingin selesai saja? Teman saya yang berlatar belakang psikologi pernah menyarankan jangan sampai anak-anak menjadi alasan untuk bertahan pada suatu hubungan yang buruk, maka kalau boleh saya ulangi di sini: fokuslah pada keinginan yang hendak dicapai. Apakah ingin memperbaiki hubungan atau menyudahinya karena masalah ini? Berbagai faktor di luar hubungan pasangan termasuk faktor anak-anak jangan menjadi alasan pengikat yang kadang malah jadi salah. Dari satu artikel yang saya baca, lebih baik anak-anak diasuh oleh orang tua yang ‘tidak utuh’ tetapi damai dibanding sepasang orang tua yang kerap berkelahi baik mulut maupun fisik sehingga suasana di rumah tidaklah kondusif untuk membesarkan seorang anak. Di lain pihak, walaupun terasa oleh orang luar peristiwa yang menimpa sebuah pasangan sungguh tidak termaafkan tapi jika istri/suami yang jadi korban perselingkuhan pasangannya tetap ingin meneruskan hubungan kenapa tidak? Teruskan hubungan dengan alasan-alasan yang hanya kalian berdua saja ketahui, tidak usah terpengaruh oleh pendapat yang kontra. Mantapkan hati dan pikiran, pertimbangkan baik-buruknya, lanjutkan dengan keyakinan tinggi. Intinya: tidak usah terlalu terpengaruh oleh faktor eksternal dalam memutuskan untuk melanjutkan atau menyelesaikan hubungan ini. Karena pada akhirnya hanya kita yang mengalaminya yang tahu persis: harus lanjut atau berhenti sampai di sini. Kedepankan logika dibanding emosi, betul harus lanjut tapi logiskah kita pertahankan jika dia berkali-kali berselingkuh? Atau, mungkin ingin menghentikan hubungan perkawinan sampai di sini saja, tapi logiskah dihentikan jika peristiwa perselingkuhan tersebut terjadi hanya sekali dan karena khilaf sesaat saja? Apakah harus “dihukum” seberat itu? Istri yang rajin menelpon setiap selingkuhan suaminya tahu bahwa suaminya memang bukan ‘married type’, dia sudah tahu risiko yang harus ditanggungnya ketika awal menikah dulu, dan dengan kesadaran penuh tidak mempermasalahkan secara berlebihan setiap peristiwa perselingkuhan suaminya. Bagai sakit flu, begitu terkena dia beri obat dan rawat lalu sembuh. Life goes on. Mereka berdua tetap awet menikah sampai sekarang. •NO DRAMA “Stop letting people who do so little for you control so much of your mind, feelings and emotions” – Will Smith Kejadian perselingkuhan ini sendiri pada dasarnya adalah ‘drama at its best‘, jadi kurang membantu jika kita menambah unsur drama lagi di dalamnya. Ya, betul, suami/istri kita selingkuh dengan orang yang kita tidak sangka, kita anggap tidak sepadan dan lain-lain, lalu mau apa? Kan sudah terjadi dan tidak bisa dihapus lagi. Tentu boleh saja kita mengeluarkan emosi seperti menangis dan lain-lainnya, tetapi sebaiknya tetap terkontrol dengan tidak melakukan hal-hal yang merusak, baik merusak diri sendiri, orang lain maupun barang-barang di sekitar. Anak-anak harus dilindungi dan sebaik-baiknya, tidak menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Mereka tidak salah dan patut dijaga perasaannya. Ungsikan anak-anak ke tempat aman seperti rumah kakek-neneknya atau kerabat lain. Mereka boleh kembali ke rumah jika suasana sudah aman dan ‘tidak berbahaya’. Tidak perlu meniru adegan sinetron dengan menemui perempuan/lelaki pengganggu rumah tangga kita dan, misalnya, menampar/memukulnya di depan umum. Semuanya untuk kebaikan kita juga kok. Apa lagi jika kita tujuan utamanya adalah tetap mempertahankan hubungan dengan pasangan, maka pihak luar sesedikit mungkin dilibatkan terutama si pengganggu itu tadi. Pihak luar yang boleh disertakan dalam membantu memecahkan masalah ini misalnya psikolog/ penasehat perkawinan, orang-orang yang ahli dan diharapkan obyektif dalam melihat permasalahan. Bercerita dengan keluarga atau teman dekat ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya mereka sangat mengenal diri kita, gratis dan mau diganggu kapan saja, kekurangannya mereka cenderung subyektif dan malah memperkeruh suasana, clouded our judgements. Mungkin saja mereka bermaksud baik dengan membela kepentingan kita, tapi karena mereka tidak terlibat kadang-kadang saran-saran yang diajukan juga jadinya kurang tepat. Apa lagi diajukannya saat emosi kita sedang tidak stabil sehingga kita pun bisa terpengaruh untuk melakukan saran-saran yang kurang tepat. Jadi carilah ‘pertolongan’ pihak yang bisa bersikap obyektif dalam menyikapi masalah ini. Istri yang menemukan foto-foto telanjang selingkuhan suaminya di inbox e-mail si suami, sengaja curhat kepada beberapa orang yang juga mengenal, bahkan teman dekat si cewek nekat telanjang itu tadi. Perspektif orang-orang tersebut dianggap lebih obyektif karena secara kemanusiaan mereka mungkin tidak tega dengan ‘nasib malang’ si istri ini namun karena si cewek telanjang mereka kenal secara personal bahkan ada juga yang kenal dekat maka mereka tidak memberikan nasehat yang bisa menyusahkan si cewek telanjang itu misalnya dengan tidak menyuruh si istri untuk mendatangi si cewek atau tidak memberikan ide untuk melaporkan foto-foto telanjang tersebut ke polisi misalnya. •RECLAIMED PUBLIC SPHERE Public sphere yang dimaksudkan di sini tidak hanya berupa ruang fisik tapi juga ruang sosial. Tetaplah mengunjungi tempat-tempat yang biasa didatangi dengan pasangan walaupun tempat-tempat tersebut telah ‘ternoda’ karena telah dipakai untuk menjadi tempat nge-date pasangan dengan selingkuhannya. Dengan mendatangi tempat-tempat tersebut kita melakukan reclaimed, mengklaim kembali, tempat tersebut dalam kehidupan kita, membebaskan kita dari keterbelengguan batasan fisik terhadap suatu tempat. Dengan melepaskan belenggu fisik, belenggu psikispun diharapkan lepas dan kita bebas. Kembali lagi ke Bunga dari artikel Selingkuh Teks dia sengaja mendatangi tempat-tempat yang didatangi oleh suami dan selingkuhannya ketika nge-date karena kebetulan sebagian dari tempat-tempat tersebut adalah tempat favorit Bunga juga. Dia nggak mau hanya karena peristiwa ini kesenangannya terganggu, tidak bisa lagi mendatangi tempat-tempat tersebut. Rugi banget, kan. Ritual yang mereka jalani adalah suaminya harus mentraktir dia di tempat-tempat tersebut, duduk di tempat yang sama persis dengan ketika si suami dan selingkuhannya ke tempat tersebut, dan “membebaskan” tempat tersebut dari keterbelengguan fisik dan psikis dengan mengobrol lama, dan tertawa lepas berdua. Ruang sosial sebenarnya mungkin bagi sebagian orang akan terasa lebih berat untuk dilepaskan keterbelengguannya dibanding ruang fisik. Ruang sosial mencakup pergaulan, pertemanan. Seharusnya kita tidak terhalang untuk tetap berteman dengan orang-orang yang lingkup pergaulannya dekat dengan si selingkuhan pasangan. Tapi selama kita memang pada dasarnya tidak terlalu perlu bersosialisasi, nggak apa-apa juga untuk tidak memaksakan diri berteman dengan mereka. Hal terpenting adalah tetap bisa membawa diri di hadapan mereka tanpa harus memerankan ‘korban’ setiap saat dan mengira mereka menertawakan di belakang kita. Walau misalnya itu memang betul, who cares? Nggak ada yang ngelarang orang untuk ketawa kan? Bukan urusan kita sama sekali. Free your mind, don’t sweat over such small stuff like that. Ada contoh, satu istri setelah diselingkuhi suaminya jadi menjauh dengan teman-teman suaminya juga, nomor hp diganti, Twitter account dihapus, singkatnya semua orang dari masa lalunya dengan si suami tidak bisa menghubunginya lagi, termasuk anak tidak boleh bertemu dengan ayahnya lagi setelah proses perceraian mereka selesai. Tapi kalau dipikir-pikir hal tersebut kan menyusahkan diri sendiri, ya? Belum lagi si anak yang tidak bersalah harus menanggung kerugian terburuk dari sebuah perceraian: tidak bisa bertemu dengan orang tua, dalam hal ini ayahnya. Si istri yang satu ini terperangkap dalam ruang sosial bentukannya sendiri. Dia malah menjadi tidak bebas. •DEKONSTRUKSI HUBUNGAN Setelah menyimak berbagai cerita soal perselingkuhan tadi, saya menjadi banyak berpikir soal penyelesaiannya dan kesimpulan yang bisa diambil dari penyelesaian-peyelesaian yang diambil oleh mereka pada masing-masing kasus. Rekonstruksi hubungan, membentuk hubungan menjadi sama persis seperti sebelum kejadian perselingkuhan rasanya kurang pas, bahkan bagi saya terasa mustahil, dibanding dengan dekonstruksi hubungan atau membentuk hubungan dengan tatanan baru dengan tetap mempergunakan serpihan elemen lama yang tersisa. Rekonstruksi hubungan adalah berusaha membangun/membentuk kembali hubungan yang hancur tepat persis sama seperti sebelumnya, mungkin akan terasa sia-sia belaka, sedangkan dekonstruksi hubungan lebih kepada memakai elemen-elemen yang ada, sisa yang hancur tadi, dan membentuk sesuatu yang baru dari elemen-elemen “sisa” tersebut, hal ini terasa lebih menjanjikan dan masuk akal. Bahkan jika seutuhnya memakai teori dekonstruksi Derrida yang diterapkan Bernard Tschumi pada Parc de la Villette di Paris, maka dekonstruksi akan menghasilkan bentuk yang bebas, lepas dari fungsi utama bangunan yang diembannya sebagai wadah sebuah/beberapa kegiatan. Betul tetap terbentuk sebuah bangun yang estetik, tapi tidak berfungsi sebagai wadah kegiatan, betul tetap terbentuk sebuah hubungan yang sinergis, tapi tidak berfungsi sebagai suami-istri lagi. Adapun bentuk dekonstruksi hubungan yang lebih ‘ringan’ adalah terbentuknya sebuah hubungan sinergis yang juga berfungsi sebagai suami-istri, namun komposisi, proporsi dan hirarki di dalamnya menjadi baru, terdekonstruksi karena “benturan” keras peristiwa perselingkuhan tersebut misalnya jika istri yang sebelumnya pasif menjadi lebih giat dan produktif, jemput bola dalam mengelola hubungannya dengan si suami. Suami yang tadinya dominan menjadi lebih pengertian dan mendengarkan kemauan dan kebutuhan si istri dan sebagainya. Masing-masing menjadi berusaha menjadi lebih baik demi dirinya sendiri, demi pasangannya, demi meningkatnya mutu hubungan dan keluarga mereka. Perselingkuhan pada masa ini, masa yang dipenuhi perkembangan teknologi yang tak terbayangkan 20-30 tahun yang lalu terkait dengan kecepatan informasi berpindah dalam hitungan detik, sebaiknya tidak semata dilihat sebagai sebuah kehancuran atau berbagai hal negatif lainnya yang bermuara hanya di sebuah titik penyelesaian: perpisahan atau perceraian semata. Betul bahwa sebaiknya perselingkuhan adalah hal yang sebaiknya dihindari dalam kehidupan perkawinan/berpasangan, tapi jika sudah terlanjur terjadi, sikapi dengan benar dan hadapi secara proporsional. Think out of your (cultural) box and deconstruct it all. Source :http://mommiesdaily.com/2013/04/15/damai-lagi-pasca-perselingkuhan-mungkinkah/

Selasa, 22 Januari 2013

Diantara Beberapa Kekeliruan Suami

(1) Lupa terhadap orang tua

Sebagian orang tatkala menikah maka iapun sibuk dan terlena dengan istrinya hingga melupakan kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah melahirkannya, yang telah mendidikanya hingga dewasa hingga akhirnya menikah…??, orang tuanya yang telah sibuk menyiapkan pernikahannya karena ingin melihat anaknya bahagia..??, kemudian setelah itu yang mereka dapatkan hanyalah anak mereka melupakan mereka, melalaikan mereka, bahkan terkadang sang anak lebih taat kepada istrinya dari pada kedua orang tuanya. Bahkan terkadang sang anak rela untuk meremehkan dan menghina kedua orang tuanya untuk menyenangkan istrinya..bahkan sampai-sampai ada yang mengusir kedua orang tuanya demi menyenangkan istrinya, bahkan orang yang telah terbalik fitrohnya terkadang sampai memukul orang tuanya. Ini jelas merupakan bentuk durhaka kepada orang tua, namun betapa banyak orang yang melakukannya tidak merasakannya.


Banyak orang tua yang memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak mau minta kepada anak mereka atau menampakan kebutuhannya kepadanya, akhirnya sang anak memang benar-benar lupa terhadap orang tuanya. Namun kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi sang anak, alasan seperti ini tidak bisa diterima karena merupakan kewajiban anak untuk memperhatikan kedua orang tuanya, memperhatikan kondisi mereka, bukan malah berpaling dan tidak ambil peduli terhadap mereka.

Sebagian orang tua berangan-angan -setelah anak mereka menikah- untuk tidak melihat sang anak sehingga tidak terganggu dengan mulut anaknya yang seakan-akan selalu merasa bahwa keberadaan orang tua hanyalah menjadi beban hidupnya.

Sebagian orang..kondisi ekonominya mencukupkan, bahkan ia menghambur-hamburkan uangnya demi menyenangkan istirinya atau menyenangkan anak-anaknya, namun tatkala orangtuanya membutuhkan bantuannya maka ia berusaha untuk mengeluarkan sesedikit-dikitnya. Jika sang ayah meminta uang darinya untuk memenuhi kebutuhannya maka dengan lantangnya sang anak langsung berkata, “Saya masih punya hutang banyak… saya beli mobil dengan kredit…, saya beli rumah dengan kredit…, saya harus menabung untuk kebutuhan anak-anak di masa depan..”, dan seterusnya. Namun anehnya jika tiba waktu liburan maka dengan mudahnya ia menghambur-hamburkan uang sebanyak-sebanyaknya untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya. Padahal orang tuanya tidak meminta banyak darinya… bahkan tidak sampai seperseluluh dari yang ia hambur-hamburkan untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya..???!!!

Bukankah Allah berfirman

يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)

Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)” [Tafsir As-Sa’di 1/96]

Apalagi jika kondisi ekonomi sang anak hanyalah pas-pasan maka semakin banyak celaan dan kalimat-kalimat yang pedis yang terlontar dari sang anak kepada kedua orang tua. Maka durhaka mana lagi yang lebih besar daripada ini.

(2) Sebagian orang yang telah lama menikah jika terjadi cekcok antara ia dan istrinya maka ia langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuanya

Hal ini jelas semakin menjadikan kedua orang tua terbebani dengan banyaknya permasalahan. Orang tua yang semestinya di masa tuanya diusahakan agar tenang sehingga bisa lebih banyak beribadah kepada Allah akhirnya menjadi pusing karena mendengar keluhan-keluhan anaknya. Dan kebanyakan orang tua perasa, jika anaknya tersakiti maka merekapun otomatis akan merasa tersakiti. Bahkan terkadang akhirnya hal ini menjadikan orang tua menjadi sakit karena memikirkan beban anaknya.

Sesungguhnya orang tua tatkala menikahkan anaknya yang ia tunggu adalah agar sang anak membahagiakannya dan menyenangkannya –bukan malah ia yang sibuk menyenangkan anaknya-, menunggu agar sang anak memperhatikannya dan merawatnya –bukan malah sebaliknya-…!!!.

Oleh karena jika seseorang menghadapi cekcok keluarga maka hendaknya ia berusaha mengatasinya sendiri, hendaknya ia bertanya kepada orang yang berilmu, dan tidak mengapa terkadang ia meminta pendapat kedua orang tuanya. Namun bukan setiap kali ada permasalahan langsung ia kabarkan kepada kedua orang tuanya.

Terutama seorang ibu, jika mendengar cekcok yang terjadi antara sang anak dengan suaminya, maka ia akan merasa sangat sedih..bahkan hal ini sangat mungkin menjadikan sang ibu benci kepada sang istri akhirnya menganjurkan sang anak untuk bercerai..!!!. Sesungguhnya ibulah yang biasanya merasa sangat kehilangan anaknya setelah anaknya menikah. Dan terkadang sang ibu cemburu dengan istri anaknya. Terkadang kecemburuan ini mengantarkan sang ibu untuk mengatakan yang tidak-tidak tentang sang istri. Apalagi jika sang ibu mendengar kejelekan-kejelekan istri anaknya…maka ia akan semakin semangat untuk memerintahkan anaknya untuk bercerai. Meskipun demikian namun sang anak harus tetap menyikapi sang ibu dengan baik. Oleh karena itu hal ini harus dipahami dengan baik oleh sang anak.

Terkadang orang tua memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangganya yang tidak sesuai dengan pandangan sang anak… maka apakah yang harus dilakukan???. Jika perintah orangtuanya bertentangan dengan syari’at maka hendaknya ia tidak mentaati orang tuanya, adapun jika tidak demikian maka hendaknya sang anak menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan. Jika kemaslahatannya banyak maka hendaknya ia mentaati orang tuanya, namun jika kemudhorotannya lebih banyak maka tidak mengapa ia menyelisihi orang tuanya namun dengan tetap beradab dan menghormati orang tuanya.

(6) Tidak bisa memimpin keluarga
Sebagian suami lemah sehingga tunduk kepada istrinya, ia tidak bisa memimpin istrinya namun justru ialah yang dipimpin dan diatur oleh istrinya. Hal ini bertentangan dengan syari’at.

Allah berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. (QS. 4:34)

Hal inilah yang menjadikan sebagian istri besar kepala dan ingin menyamai para lelaki dalam segala hal sampai pada pekerjaan-pekerjaan di luar rumah sehingga timbulnya ikhtilath (bercampur baur antara para lelaki dan para wanita) yang akhirnya menjerumuskan pada timbulnya banyak penyakit sosial.

Jika seorang istri telah merasa seperti lelaki maka suaminya tidak mungkin bisa hidup bersamanya, bagaimana bisa seorang lelaki hidup berumah tetangga dengan sorang lelaki??!!. Kecantikan seorang wanita dihadapan seorang lelaki terdapat pada kelemahannya dan kebutuhannya kepada seorang lelaki. Tatkala seorang lelaki melihat istrinya lemah lembut dan butuh kepadanya maka akan timbul rasa kasih sayangnya dan akan nampak kejantanannya dihadapan sang wanita sehingga terjalinlah keselarasan diantara keduanya. Berbeda jika sang suami melihat istrinya adalah perkasa..??!!

Memang benar terkadang seorang istri pintar dan berkepribadian kuat, namun hal ini bukan berarti sang suami harus mengikuti semua perkataan istrinya, istrinyalah yang mengaturnya, memerintahnya dan melarangnya. Jika kondisi seorang suami seperti ini maka akan menyebabkan sang istri berani untuk keluar rumah tanpa izin suaminya. Sebagian suami tidak berani mengundang sahabatnya untuk minum teh di rumahnya kecuali setelah izin istrinya…???, apakah sampai demikian takutnya sang suami…???.

Sebagian suami terlalu cinta kepada istrinya hingga iapun tunduk pada istrinya meskipun istrinya tidak memiliki keistimewaan tertentu selain kecantikannya. Istrinya tidak pintar dan juga tidak berkepribadian kuat, bahkan sang suami mengetahui hal ini. Namun karena kecintaannya kepada sang istri yang terlalu besar akhirnya menggelapkan matanya dan pikirannya, akhirnya iapun tunduk dengan semua perkataan istrinya. Hal ini terkadang menjadikan dia tenggelam dengan dunia dan lupa untuk menuntut ilmu apalagi mendakwahkannya, dan banyak kebaikan-kebaikan agama yang harus dikorbankannya demi menyenangkan istrinya.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 64:14)

Ibnu Katsir berkata, “Allah mengabarkan tentang istri-istri dan anak-anak bahwasanya diantara mereka ada yang merupakan musuh bagi suami…oleh karena itu Allah berfirman {فَاحْذَرُوهُمْ} ((maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka)). Berkata Ibnu Zaid, يَعْنِي عَلَى دِيْنِكُمْ “Yaitu (wasapadahilah mereka) terhadap agama kalian”…Mujahid berkata, “Mereka (istri dan anak-anak) mendorong sang suami untuk memutuskan silaturahmi atau untuk bermaksiat kepada Allah maka sang suami tidak mampu kecuali mentaati mereka karena cintanya kepada mereka” [Tafsir Ibnu Katsir IV/377]

Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini merupakan peringatan dari Allah terhadap kaum mukiminin agar mereka jangan sampai terbuai dengan istri dan anak-anak mereka karena sebagian istri dan anak-anak mereka adalah musuh bagi mereka. Dan yang namanya musuh adalah yang menghendaki kejelekan pada dirimu, maka tugasmu adalah engkau berwaspada dari orang yang sifatnya demikian.

Jiwa memang terciptakan condong mencintai istri-istri dan anak-anak, maka Allah menasehati hamba-hambaNya jangan sampai kecintaan mereka terhadap istri dan anak-anak menjadikan mereka patuh dan taat dalam memenuhi keingingan-keingingan istri dan anak-anak yang mengandung perkara-perkara yang diharamkan, kemudian Allah memotivasi mereka untuk menjalankan perintah-perintahNya dan agar mereka mendahulukan mencari keridhoan Allah serta apa yang di sisi Allah berupa ganjaran yang besar yang mengandung keinginan-keinginan yang tinggi dan perkara-perkara yang sangat dan paling disukai. Allah juga menasehati mereka agar mereka mendahulukan akhirat daripada dunia yang fana dan akan berakhir.” [Taisir Ar-Karim Ar-Rahman hal 868]

Namun hendaknya seorang suami ingat bahwa istrinya bisa jadi musuh baginya bukan karena istrinya itu secara dzatnya yang asli merupakan musuh, akan tetapi istrinya menjadi musuh baginya karena sikap istrinya tersebut. Jika sang istri melakukan perbuatan yang bisa menghalangi sang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah maka jadilah ia musuh bagi suaminya, namun jika tidak maka bukanlah musuh suaminya. [Lihat penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya XVIII/141]. Oleh karena itu jika timbul dari istri sikap-sikap yang bisa menghalangi seorang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah, atau sikap-sikap yang bisa menyebabkan sang suami sibuk dengan dunia dan lalai dari akhirat, dan sang suami sadar akan hal itu, maka bukan berarti lantas sang suami kemudian menjadi kasar terhadap istrinya, atau “mencak-mencak” kepadanya dan menghinakannya, atau kemudian menjadikan istrinya sebagai musuhnya seterusnya lantas terus melampiaskan kemarahannya dan emosinya terhadap sang istri. Hendaknya sang suami memaafkan istrinya dan ingat akan wasiat-wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya agar berbuat baik kepada istrinya. Oleh karena itu Allah mengingatkan hal ini setelah menjelaskan bahwa sebagian istri merupakan musuh bagi suaminya. Allah berfirman

وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ



Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 64:14)

Syaikh As-Sa’di berkata, “Dan tatkala larangan mentaati istri dan anak-anak pada perkara-perkara yang mengandung kemudhorotan terhadap hamba serta peringatan akan hal itu bisa saja menimbulkan persangkaan untuk bersikap keras terhadap mereka serta menghukumi mereka, maka Allah memerintahkan untuk berwaspada terhadap mereka dan memafkan mereka serta tidak memarahi mereka karena hal ini mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan yang banyak sekali. Maka Allahpun berfirman وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ((dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)), karena balasan sesuai dengan amal perbuatan. Barangsiapa yang memaafkan maka Allah akan memaafkannya, barangsiapa yang mengampuni maka Allah akan mengampuninya, barangsiapa yang mencintai dan bermu’amalah dengan hamba-hambaNya dengan apa yang mereka sukai dan memberi manfaat kepada mereka maka ia akan medapatkan kecintaan Allah kepadanya dan kecintaan hamba-hamba Allah kepadanya” [Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal 868]

Allah telah menetapkan bahwa kepemimpin rumah tangga harus dipegang oleh kaum lelaki, dan rumah tangga tidak akan bisa berjalan dengan baik kecuali jika kepemimpinan dipegang oleh suami. Namun jika kepimimpinan dipegang oleh suami bukan berati sang suami menguasai istri dan bertindak kepadanya sewenang-wenang, bahkan syari’at memerintahkan para suami untuk memuliakan istri-istri mereka dan bersikap lembut kepada mereka.

Faedah :

Dalam ayat ini (QS 64:14) Allah menyebutkan bahwa hanya “sebagian” istri dan anak-anak yang merupakan musuh bagi sang suami, karena bukan semua istri dan anak-anak merupakan musuh. Adapun pada ayat setelahnya Allah tidak menyebutkan kata “sebagian”

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. 64:15)

Karena anak-anak, harta dan istri tidak akan lepas dari menimbulkan fitnah dan menyibukan hati. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah”, karena tidak seorangpun dari kalian kembali ke hartanya, istrinya, dan anaknya kecuali ia akan terkomintasi dengan fitnah. Akan tetapi hendaknya ia berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah-fitnah yang menyesatkan” [Lihat tafsir Al-Baghowi IV/354]

Karena bagaimanapun juga seorang suami pasti akan tersibukan dengan anaknya, hartanya, dan istrinya, dan ini merupakan fitnah baginya. Akan tetapi tidak semua fitnah menjadikannya tersesat, oleh karena itu ia hanya berlindung kepada Allah dari fitnah yang bisa menyesatkannya. Adapun ingin terbebas dari fitnah secara mutlak maka ini tidak mungkin, karena dunia adalah tempat fitnah dan ujian. Wallahu A’lam

(7) Sibuk dengan kegiatan luar hingga lupa untuk mendidik istrinyaSebagian suami disibukan dengan kegiatan hingga lupa untuk mendidik istri mereka. Ada diantara mereka yang disibukan dengan urusan dunia seharian penuh dan tatkala tiba di rumah langsung tidur tanpa bermesraan dahulu dengan istrinya. Kalau ada diantara mereka yang ditegur maka ia akan berkata, “Aku telah membelikan istriku mobil, perabotan rumah tangga yang mewah…, rumah yang mewah…” dan seterusnya. Memang benar nafkah badan wajib bagi suami, namun nafkah batin juga wajib bagi suami. Jika ia tidak sempat untuk bermesraan dengan istrinya lantas bagaimana caranya ia mendidik istrinya dengan baik..???!!!.

Sebagian yang lain sibuk dengan perkara-perkara yang baik seperti menuntut ilmu dan dakwah, hal ini sangat baik, namun bukan berarti kemudian ia lalai dari istrinya. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam orang yang paling baik dalam berdakwah telah kita lihat bagaimana sikap beliau terhadap istri-istri beliau. Dan jangan sampai diantara kita ada yang merasa bahwa tanggung jawabnya yang berkaitan dengan dakwah lebih besar daripada tanggung jawab Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam!!!. Meskipun tanggung jawab Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sangatlah besar namun beliau tidak pernah melalaikan hak-hak istri-istri beliau, bukan hanya seorang istri bahkan sembilan orang istri. Lantas bagaimana dengan kebanyakan kita yang hanya memiliki seorang istri…???.

Sebagian suami begitu bersemangat mendakwahi orang lain, namun sangatlah malas untuk mendakwahi istrinya. Padahal istrinya adalah orang yang lebih berhak untuk memperoleh pendidikan darinya…!!!, bukankah istrinya yang akan mendidik anak-anaknya…???!!. Oleh karena itu sering kita mendapati seorang yang berilmu tinggi namun istri dan anak-anaknya tidak mencerminkan ajaran Islam dengan baik.

Demikian juga hendaknya seorang suami mendidik istrinya untuk beribadah kepada Allah. Dan apabila istrinya telah menjadi wanita yang shalihah dan taat beribadah kepada Allah bahkan membantunya untuk menjalankan ibadah kepada Allah maka sungguh merupakan kenikmatan yang luar biasa.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ

“Hendaknya yang kalian cari adalah hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, dan istri yang shalihah yang membantu kalian untuk meraih akhirat” [ HR At-Thirmidzi no 3094, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat juga shahihul jami’ no 5355. ]

Renungkanlah hadits berikut ini

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

Allah merahmati seorang yang bangun di malam hari lalu sholat (tahajjud) dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan untuk bangun maka iapun memercikkan air di wajah istrinya. Allah merahmati seorang wanita yang bangun di tengah malam lalu sholat (tahajjud) dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan untuk bangun maka iapun memercikkan air ke wajah suaminya. [HR Abu Dawud II/33 no 1308 dan Ibnu Majah I/424 no 1336 dari hadits Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرَا وَالذَّاكِرَاتِ

Barangsiapa yang bangun di tengah malam dan membangunkan istrinya lalu mereka berdua sholat bersama dua rakaat maka mereka berdua akan dicatat sebagai laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah [ HR Abu Dawud II/70 no 1451 dan Ibnu Majah no 1335 dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurarah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Allah berfirman

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً (الأحزاب : 35 )

laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33:35)


(8) Tidak memiliki rasa cemburu
Sebagian suami sama sekali tidak memiliki rasa cemburu, jika istrinya keluar dari rumahnya kemudian dilihat oleh para lelaki, atau istrinya bercampur dengan para lelaki di tempat kerja, atau istrinya berdua-duaan dengan seorang lelaki lain di mobil, atau istrinya berbicara dengan lelaki lain di telepon, atau istrinya berbicara lama dengan lelaki lain di hadapannya, atau saling sms-sms-an dengan lelaki lain, dan seterusnya…kemudian ia tidak merasa cemburu….lelaki macam apakah ini yang tidak cemburu….

Tidak adanya rasa cemburu inilah yang menyebabkan timbulnya kerusakan di masyarakat, timbulnya berbagai macam penyakit sosial…

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah jauh-jauh mewanti-wanti bahaya sifat ini, beliau bersabda

ثَلاَثَةٌ حَرَّمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ عَلَيْهِمِ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُ وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ الْخَبَثَ فِي أَهْلِهِ

Tiga golongan yang Allah mengharamkan surga atas mereka, pecandu bir, anak yang durhaka kepada orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kemaksiatan pada istrinya (keluarganya). [Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no 2512 dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, lihat juga syahidnya dari hadits ‘Ammar bin Yasir no 2071 dan 2367]

Dayuts adalah orang yang tidak memiliki rasa cemburu karena istrinya. [Lisanul ‘Arab II/150, An-Nihayah fi ghorinil hadits IV/112]

Para ulama memandang sikap seperti ini merupakan dosa besar. [Al-Kabair I/54]

Namun yang menyedihkan yang terjadi di zaman ini, betapa banyak lelaki yang membiarkan istrinya terbuka menjadi bahan tontonan para lelaki, membiarkan para lelaki bergolak syahwatnya kerana melihat istrinya…. bahkan ia bangga dengan hal itu…, bangga kalau istrinya jadi barang tontonan, bangga jika aurat istrinya jadi pemuas nafsu pandangan para lelaki….

Bahkan sebagian kaum muslimin -yang terpengaruh dengan gaya hidup orang-orang kafir- memandang bahwasanya merupakan bentuk kemajuan dan modernisasi jika istrinya bertemu dengan sahabat lelaki suami maka sang istri mencium lelaki tersebut…

Bagaimana seorang mukmin yang sejati tidak cemburu melihat istrinya dicium oleh lelaki lain…??? inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun

Sesungguhnya wanita adalah sosok yang sangat mengharapkan perhatian dan kasih sayang suaminya. Hatinya akan berbinar-binar jika suaminya menyatakan kasih sayangnya dan cintanya padanya. Oleh karena itu terkadang seorang istri sengaja melakukan tingkah laku tertentu untuk menguji ukuran cinta suaminya kepadanya. Suami yang baik adalah yang mampu membuat istrinya merasa bahwa ia mencintainya. Jika seorang istri mengetahui bahwa suaminya cemburu karena dirinya maka ia akan sayang kepada suaminya karena ia merasa bahwa suaminya sayang kepadanya dan perhatian kepadanya.

Sebaliknya sebagian suami kecemburuannya berlebihan tanpa sebab. Hal ini timbul akibat prasangka buruk terhadap istrinya, yang tentunya hal ini sangat menjadikan sang istri menjadi tertekan karena gerak-geriknya selalu dianggap salah oleh suaminya, ia dianggap tidak sayang kepada suaminya…ia dianggap masih mencari pria lain…dan seterusnya tuduhan-tuduhan buruk di arahkan kepada istrinya yang sholihah yang sayang kepadanya.

(9) Menasehati istri namun bukan karena Allah
Jika nampak dari istri tanda-tanda ia mulai membangkang, mulai membantah, tidak taat kepada suami maka hendaknya ia menasehatinya dengan nasehat yang baik. Menasehatinya dengan membacakan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingatkan istrinya akan akhirat. Dan hendaknya ia sabar dalam menasehati istrinya dan mengulang-ngulang nasehatnya karena sebagian wanita sering sekali lupa dengan peringatan dan nasehat suaminya oleh karena itu seorang suami juga harus bersabar dalam menasehati istrinya. Dan yang paling penting hendaknya nasehat tersebut dia lakukan karena Allah.

Namun sebagian suami menasehati istrinya bukan karena Allah akan tetapi karena kepentingan pribadinya, karena ia tidak ingin namanya tercemar dengan sikap istrinya. Sebagian mereka berkata kepada istrinya, “Engkau jangan lakukan demikian, engkau hanya membuat aku malu saja…!!!”.

Barangsiapa yang menasehati istrinya karena Allah maka Allah akan memberi barokah pada nasehatnya tersebut dan insya Allah nasehatnya tersebut akan memberi pengaruh terhadap istrinya. Adapun jika ia menasehati karena kepentingan pribadinya maka pengaruh nasehat tersebut kurang, atau bahkan tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Peringatan

Hendaknya seorang suami berusaha menghafal dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermanfaat untuk menasehati istrinya. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang dibacakan, demikian juga dengan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang sangat luar biasa terhadap sang istri. Dan jika sang istri terbiasa mendengar ayat-ayat serta sabda-sabda Nabi maka ia akan terbiasa patuh dan taat kepada suaminya karena menjalankan perintah Allah dan RasulNya.

(10) Menasehati istri langsung dengan ancaman
Sebagian suami jika melihat istrinya melakukan kesalahan langsung mengancam istrinya dengan ancaman-ancaman yang berat, dan yang peling berat bagi sang istri adalah jika diancam dengan cerai. Misalnya dengan berkata, “Jika kamu tetap begini keadaannya maka lebih baik kita cerai…”. Apalagi zaman sekarang banyak suami yang karena –kebodohannya dalam menasehati istrinya- dan juga karena ketidaksabarannya maka jika istrinya bersalah langsung ia ancam untuk menceraikannya.

Hal ini jelas keliru dan kurang mendidik sang istri. Yang benar hendaknya yang pertama kali ia lakukan adalah memperingatkan istrinya tatkala bersalah dengan menyebut ayat atau hadits dan mengingatkannya dengan hari kiamat bahwasanya perbuatannya itu akan berakibat fatal di akhirat kelak.

Syaikh Utsaimin berkata, ((Dan nasehat adalah dengan mengingatkan sang istri dengan perkara-perkara (dalil-dalil) yang membuatnya semangat (untuk taat kepada suami-pen) atau yang membuatnya takut (jika tidak taat kepada suaminya-pen). Hendaknya sang suami menasehati istrinya dengan menyebutkan ayat-ayat yang menunjukan akan wajibnya taat kepada suami dengan baik, dan hadits-hadits yang memperingatkan akan tidak bolehnya sikap membangkang terhadap suami seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami meminta istrinya untuk melayaninya di tempat tidur dan sang istri menolak lantas sang suami bermalam dalam keadaan marah maka malaikat akan melaknat sang istri hingga pagi hari” [HR Al-Bukhari no 3065 dan Muslim no 1436]

Dan hadits-hadits yang semisal ini.

Maka hendaknya pertama kali ia menasehati istrinya, dan jika sang istri menerima nasehat tersebut maka hal ini lebih baik daripada jika sang istri taat karena takut ancaman suami. Maksudnya lebih baik dari perkataan suaminya, “Kamu hendaknya meluruskan dirimu kalau tidak maka kamu akan aku cerai !!”, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh. Engkau dapati dia (selalu) mengancam istrinya dengan cerai, padahal dia tidak mengetahui bahwasanya hal ini menyebabkan sang istri lebih menjauhi darinya. Seakan-akan sang istri hanyalah seekor kambing yang jika dia kehendaki maka dia jual, dan jika dia kehendaki maka tetap jadi miliknya.

Metode yang benar adalah hendaknya sang suami mengingatkan sang istri dengan ayat-ayat Allah hingga sang istri patuh karena menjalankan perintah Allah…)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]


(11) Salah mepraktekkan hajr

Sebagian suami salah mempraktekan firman Allah {وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ} ((jauhilah mereka di tempat tidur)), sehingga jika mereka marah kepada istri mereka maka mereka langsung meninggalkan rumah atau mengusir istrinya dari rumahnya. Hal ini keliru karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa termasuk hak seorang wanita terhadap suaminya

وَلاَ يَهْجُرَ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Dan tidak menghajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah” [HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah. Hadits ini dishahihkan oleh Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal (sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir IV/7 no 1661) dan juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, ((Yaitu janganlah engkau meng-hajr istrimu lantas engkau keluar meninggalkan rumah, atau engkau mengeluarkannya dari rumah. Jika engkau ingin meng-hajr istrimu maka hajrlah ia dan engkau tetap di rumah. Dan hajr di rumah ada beberapa macam.

1. Hajr dengan memutuskan pembicaraan. Dan hajr ini tidak boleh lebih dari tiga hari karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." [HR. al-Bukhari V/2302 no 5879 dan Muslim IV/1984 no2560]

Jika telah lebih dari tiga hari maka wajib bagi sang suami untuk memberi salam kepada sang istri. Jika ternyata tiga hari tidak cukup untuk meng-hajr istri maka setiap tiga hari hendaknya sang suami mengucapkan salam kepada istrinya

2. Hajr dengan makanan. Misalnya jika merupakan kebiasaanmu engkau makan siang dengan istrimu hajrlah ia (janganlah makan bersamanya biarkan ia makan sendiri)

3. Hajr dengan meninggalkan tidur bersama. Dan hajr ini bentuknya banyak diantaranya

- Tidak menjimaknya dan mencumbuinya dan yang semisalnya

- Menampakkan punggungmu kepadanya (tidak menengok kepadanya) tatkala tidur

- Engkau tidur di tempat tidur dan dia di tempat tidur yang lain

- Engkau tidur di kamar dan dia di kamar yang lain

4. Meng-hajr dengan meninggalkan sifat baik yang biasanya ia lakukan kepada istrinya. Misalnya ia biasanya bergurau dengan istrinya maka iapun meninggalkan gurauan tersebut)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4. Lihat juga Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]

Adapun Syaikh Sholeh Fauzan menguatkan pendapat bahwa hajr dalam ayat di atas yaitu sang suami tetap tidur bersama sang istri hanya saja ia berpaling dari sang istri, misalnya dengan membalikan badannya hingga punggungnya diarahkan kepada sang istri. Dan ini adalah zhohir dari firman Allah ((di tempat tidur)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, "Jika sang suami meng-hajr istrinya maka hendaknya ia menghajrnya secara intern antara mereka berdua saja dan tidak di hadapan orang banyak" [Taudhihul Ahkaam min Bulughil Marom IV/453]. Oleh karena itu merupakan sikap yang salah jika seorang suami tatkala meng-hajr istrinya ia tampakkan atau iklankan di hadapan orang banyak. Hal seperti ini terkadang menimbulkan rasa dendam istrinya sehingga tidak tercapailah maslahat yang diinginkan.

Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya meng-hajr dengan meninggalkan rumah jika memang bermanfaat bagi sang istri. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr istri-istrinya selama dua puluh sembilan hari [ HR Al-Bukhari V/1996 no 4906]. Dan ini adalah pendapat Ibnu Hajar[1], beliau berkata, “Dan Yang benar hajr itu bervariasi sesuai dengan variasinya keadaan, terkadang hajr yang dilakukan dan suami tetap di rumah lebih terasa berat bagi sang istri dan bisa jadi sebaliknya, bahkan biasanya hajr yang dilakukan oleh suami dengan meninggalkan rumah lebih terasa menyakitkan bagi para wanita terutama karena hati mereka yang lemah”[2]

Surat ke-2 untuk suamiku..

Suamiku,

Mungkin pernah tersirat di dalam benakmu bahwa kau telah salah memilihku menjadi pasanganmu.
Kadang kala aku mengganggumu dengan semua rajuk manjaku.
Aku juga sering membatasi kebebasanmu yang tak sama lagi seperti dulu.
Aku sering menepis pelukanmu karena terusik oleh suara dengkuranmu itu.
Bahkan meninggalkanmu tidur sendirian karena aku butuh keheningan jika ingin tidur.

Tetapi, di saat kau sibuk dengan pekerjaanmu, ingatlah bahwa aku kangen dengan pelukanmu
dan setia menunggumu tidur disampingku. Kudoakan kau di dalam kecemasanku.

Dan saat aku rela pergi bersama dirimu, ingatlah bahwa ada banyak orang yang kutinggalkan demimu.
Orang tuaku, sanak saudaraku, sahabat-sahabatku. Dan kubiarkan kau mengisi seluruh kekosongan hatiku.

Saat aku tak sengaja melakukan sebuah kesalahan atau terjatuh. Janganlah aku ditinggalkan.
Janganlah ego dan kekasaran yang ditunjukkan.
Tetapi perlakukan aku dengan lembut dan bicaralah dalam ketenangan.

Saat aku ingin kau menemaniku, dan kau terlarut dalam kesibukanmu, hatiku teriris dan haus akan perhatianmu.
Yang kupinta adalah sedikit perhatianmu itu.

Saat kau ingin pergi dan aku ingin kau tinggal di sisiku, percayalah itu bukan melulu karena cemburu.
Tetapi karena aku tak ingin jauh darimu.

Saat aku menangis tersedu, aku ingin kau memelukku dan mengatakan "semuanya akan baik-baik saja."

Saat aku sedang gusar, peganglah tanganku. Tanpa berkata apapun aku tahu bahwa kau tak akan pernah meninggalkan aku.

Ceritakan semuanya kepadaku, bukan seperti kau bercerita kepada pasanganmu, tetapi seperti kau kepada sahabatmu.

Apabila keinginanku mulai terlalu banyak, ingatkan aku untuk selalu bersyukur memilikimu.
Dan bahwa semua yang dimiliki di dunia ini akan kita tinggalkan kelak.

Dan bila aku dikalahkan oleh rasa kantukku, bangunkan aku dengan lembut.
Ingatkan aku akan tanggung jawab yang belum kuselesaikan.

Ketika kau sedang terhanyut dalam lautan emosi, pandang mataku dalam-dalam.
Jauh di dalam beningnya, ada cinta untukmu, dan akulah yang kau cintai itu.

Aku yang selalu mencintaimu,

Istrimu.